Pages

feature content slider

Powered by Blogger.

Pages - Menu

Popular Posts

Arsip Blog

Blogger templates

[gudang-ilmu] Artikel’: Menyelipkan Huruf ’I’ Pada Kata ’Saya’?

 

Artikel': Menyelipkan Huruf 'I' Pada Kata 'Saya'?
 
Hore, Hari Baru! Teman-teman.
 
Dalam sebuah perbincangan, seseorang berkomentar;"Mas Dadang Anda termasuk tipe pribadi egois," katanya. "Mengapa Anda mengira demikian?" kata saya. "Karena Anda sering sekali menyebut kata 'saya'..." begitulah penjelasannya. Ini bukan dialog imajiner. Beneran terjadi 3 atau 4 bulan lalu disebuah kedai kopi yang menyediakan donat hangat. Saya tidak perlu tersinggung, karena memang saya sering menggunakan kata 'saya'. Semisal; 'menurut hemat saya.." Atau "Saya tidak mengetahui hal itu." Anda juga bisa menghitung, berapa kali kata 'saya' ditulis dalam artikel ini. Namun, Anda tentu memahami bahwa kata 'saya' yang digunakan secara tepat sama sekali tidak menggambarkan egoisme. Bahkan kali ini, saya sengaja mengajak Anda untuk berfokus kepada kata 'saya' milik setiap pribadi. Sebab, 'saya' adalah sebuah kata yang memiliki makna yang sangat dalam bagi setiap orang yang merasa memiliki nyawa.  
 
Laptop ini sudah menemani saya lebih dari 3 tahun. Kinerjanya memuaskan. Namun, akhir-akhir ini salah satu tombol keyboardnya sering copot. Tahukah Anda tombol keyboard huruf apa yang copot itu? Tepat sekali. Tombol huruf 'I'. Saya sudah berulangkali memperbaikinya, namun tombol 'I' itu copot lagi. Dan copot lagi. Setengah frustrasi, pagi ini saya bertanya; "Ya Tuhan, ada apa dengan tombol 'I' ini?" Ajaib sekali. Saya langsung mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu. Betapa saya telah banyak melupakan 'I', serta betapa Tuhan telah menitipkan sang 'I' itu kepada saya selama ini. Ingatkah Anda bahwa 'I' itu berarti 'saya'? Oh, jangan-jangan selama ini saya terlalu sibuk memikirkan orang lain hingga melupakan diri sendiri. Padahal, orang yang ingin dekat dengan Tuhan pun dianjurkan untuk lebih mengenal dirinya sendiri. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memahami fungsi 'I' dalam diri sendiri, saya ajak
memulainya dengan memahami 5 prinsip Natural Intelligence berikut ini:

1.      Percayalah bahwa 'I' itu adalah Amanah tertinggi kita. Saya masih terus teringatnasihat guru kehidupan saya. "Engkau tidak akan ditanya tentang orang lain, Nak. Melainkan tentang dirimu sendiri." Sungguh dalam, makna kalimat itu bagi saya. Kita, sering terlampau sibuk melihat, menilai dan mengomentari orang lain. Si itu begitu, si ini begini, sedangkan si ono begono. Mudah sekali mata kita melihat kelemahan orang lain. Gampang sekali telinga kita mendengar keburukan orang lain. Tapi tentang diri sendiri? Perilaku buruk yang setelah puluhan tahun kita pelihara pun tidak kita sadari juga. "Lihat kedalam dirimu sendiri, Nak." Begitu kata beliau. "Dan engkau akan tahu, bahwa engkau tidak lagi punya waktu untuk mengungkit keburukan orang lain." Memang, sebagai seorang teman kita bisa menjadi pengingat bagi orang lain. Tapi apalah gunanya ajakan kita kepada kebaikan orang lain jika kita sendiri lupa untuk mengajak diri sendiri
menjadi pribadi yang baik? Pundak kita tidak dibebani tugas untuk menjadikan orang lain baik sebelum diri kita sendiri. Karena 'I' adalah amanah tertinggi yang kita emban.

2.      Setiap orang punya tanggungjawabnya sendiri. Perhatikanlah, betapa sering usilnya kita kepada urusan orang lain. Padahal urusan kita sendiri saja belum tentu beres. Dunia kita tidak akan menjadi tempat yang 'beres' kalau penghuninya hanya saling menunjuk hidung. Justru, kita bisa memiliki dunia yang lebih baik ketika setiap pribadi mau mengambil tanggungjawabnya sendiri. Dengan memastikan 100% tanggungjawab saya terpenuhi, maka itu sudah menjadi kontribusi bagi tercapai keadaan dunia yang kita idamkan. Anda? Cukup dengan menunaikan tanggungjawab Anda 100% juga. Mereka? Sama. Keruwetan yang terjadi kan lebih banyak disebabkan karena kita tidak benar-benar menunaikan tanggungjawab kita. Alih-alih malah kita memelototi orang lain hingga lupa bahwa tanggungjawab kita sendiri lebih membutuhkan perhatian dan penanganan. Maka jangan takut disebut sebagai pribadi yang egois, jika kata 'saya' itu Anda gunakan untuk mawas diri. Jangan khawatir
divonis egosentris jika kata 'I' itu Anda pakai untuk mengambil tanggungjawab pribadi. Sebab 'I' berarti the only person who has all the responsibilities of every human being. Dan setiap orang, memiliki tanggungjawabnya sendiri.

3.      Tidak ada yang bisa selamanya ada untuk kita. Jika seseorang bertanya pada Anda; Siapa yang bertanggungjawab pada hidup Anda? Maka Anda benar ketika menjawabnya dengan kata 'saya'. Siapa yang harus menjaga harga diri Anda? Maka Anda pun waras jika juga menjawab pertanyaan itu dengan huruf 'I'. Kepada siapa Tuhan menitipkan semua potensi diri Anda? Apakah Anda punya jawab lain selain 'saya' atau 'I'? Tentu saja tidak. Sebab Ayah Anda. Ibu Anda. Pacar Anda. Suami Anda. Istri Anda. Body guard Anda. Tidak selamanya ada bersama Anda. Sedangkan satu-satunya 'manusia' yang selalu ada untuk Anda adalah diri Anda sendiri. Apakah itu berari kita tidak membutuhkan orang lain? Oh, tidak. Sama halnya ketika orang lain membutuhkan kita, maka kita juga membutuhkan mereka. Maka, dalam konteks ini; berfokus kepada diri sendiri adalah sebuah keharusan kodrati.

4.      I sudah bukan lagi 'i'. Bunyinya sama. Tapi peran, fungsi, dan posisinya sudah berbeda. Ketika sebuah 'i' bertumbuh kembang hingga menjadi 'I', maka pada saat itu seseorang dituntut untuk bisa bersikap dewasa. Makna dewasa tidak hanya berarti lepas dari ketergantungan kita kepada orang tua. Yang itu iya, karena nyatanya masih banyak juga orang-orang 'dewasa' yang masih mengganduli orang tuanya. Namun itu juga berarti dewasa di tempat kerja atau lingkungan lainnya dimana kita berada. Jika kita masih bekerja baik hanya jika takut dikenai sanksi oleh kantor, misalnya. Maka itu ciri jika kita belum dewasa. Begitu juga jika kita masih harus menunggu perintah dari atasan alias enggan mengambil inisiatif untuk berprestasi. Kedewasaan dalam hidup, kira-kira juga sejalan maknanya. Mengeluhkan hidup yang sulit, contohnya. Normal jika saat susah kita merasa sesak didada. Mengeluhkannya – apalagi kepada orang lain –  sama sekali
tidak menghasilkan solusi yang bisa menjaga harga diri kita. Percayalah, tak seorangpun terbebas dari tekanan hidup. Apakah mereka kaya, atau miskin. Ataukah mereka pejabat atau orang biasa. Saat 'i' sudah menjadi 'I', maka kita mesti belajar untuk lebih tabah menerimanya. Cukup kita sendiri  bersama Sang Maha Pemberi jalan keluar saja yang tahu soal itu. Dan bersama Dia kita berikhtiar mencari penyelesaiannya. Bukankah itu yang kita sebut sebagai kedewasaan? Karena ketika 'i' sudah tumbuh besar menjadi 'I', kita dituntut untuk menjadi lelaki 'atau perempuan dewasa.

5.      Pertanggungjawaban 'I' kepada Sang Maha 'I'. Dalam hidup dan mati kita ada 2 'I'. I yang pertama adalah 'saya'. I yang kedua adalah 'Ilahi'.  Pertanggungjawaban tertinggi adalah pertanggung jawaban 'saya' kepada Sang Ilahi. Dengan segenap anugerah, kesempatan, keterbatasan, cobaan, kemudahan dan segala sesuatu yang Tuhan berikan kepada kita; apa yang sudah kita lakukan dalam menjalani hidup? Orang yang dianugerahi ketampanan tidak selalu lebih mudah mempertanggungjawabkan perilakunya dibandingkan mereka yang wajahnya bisa-biasa saja seperti saya, misalnya. Yang cantik juga begitu. Orang kaya? Lebih mudah melewati sidang Tuhan dari si miskin? Hmm tidak juga. Kecantikan dan ketampanan. Kekayaan dan kemiskinan. Kemudahan dan kesulitan. Semuanya adalah elemen-elemen yang menuntut pertanggungjawaban. Jika kaya, misalnya. Hartamu dari mana dan digunakan untuk apa? Jika miskin? Bagaimana kamu bisa tetap menjaga harga dirimu
ditengah kemiskinan itu? Jika cantik atau tampan? Bagaimana kamu bisa menjaga kesucian dirimu dengan balutan ketampanan dan kecantikan yang menghanyutkan. Semuanya, pasti membutuhkan pertanggunggjawaban sang 'I' kepada Sang Maha 'I'.

Tombol keyboard 'I' pada laptop saya sudah diperbaiki. Belum copot lagi setelah perbaikan terakhir ini.  Namun cepat atau lambat, tombol 'I' itu pasti akan rusak lagi. Bahkan bersama laptopnya sekalian. Sama dengan tubuh kasar saya yang akan musnah digerogoti cacing tanah lalu melebur menjadi debu yang menyatu dengan bumi. Meski laptop saya rusak, nanti. Tapi semua naskah, kalimat, dan kata yang pernah saya ketik akan tetap ada. Meski tubuh kasar saya sirna, namun semua tindakan dan perbuatan yang sudah saya lakukan juga akan tetap ada. Diantara tulisan yang hasilkan dengan laptop itu, ada yang tersangkut di situs-situs, facebook, twitter, milist dan email, dan ada juga yang tersimpan dalam hati seseorang. Begitu pula dengan catatan perjalanan hidup saya. Semuanya akan tetap tersimpan pada tempat-tempat yang sepatutnya. Karena semua perilaku kita, akan tercatat pada buku yang tidak pernah lapuk bernama lauhul mahfudz. Yaitu buku besar yang
berisi catatan tentang perjalanan hidup setiap 'I' yang dimiliki oleh setiap pribadi. Sudahkah huruf 'I' Anda menuliskan naskah yang baik hari ini? Yuk, marrri.

Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman – 21 Oktober 2011
Trainer"Natural Intelligence Leadership Training" 
Penulis buku "Natural Intelligence Leadership"(Tahap editing di penerbit)
 
Catatan Kaki:
Akan tiba saat dimana setiap insan hanya berdiri sendirian dalam sidang yang hanya dipertanggungjawabkan oleh dirinya sendiri.

Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.

Follow DK on Twitter @dangkadarusman

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori dengan judul [gudang-ilmu] Artikel’: Menyelipkan Huruf ’I’ Pada Kata ’Saya’?. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://tempat-belajar-bisnis-online.blogspot.com/2011/10/gudang-ilmu-artikel-menyelipkan-huruf-i.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Andriansyah - Thursday, October 20, 2011

Belum ada komentar untuk "[gudang-ilmu] Artikel’: Menyelipkan Huruf ’I’ Pada Kata ’Saya’?"

Post a Comment

Blogger news