Pages

feature content slider

Powered by Blogger.

Pages - Menu

Popular Posts

Blogger templates

[gudang-ilmu] Artikel:  Mengapa Kita Tidak Merasa Sedang Melakukan Keburukan?

[gudang-ilmu] Artikel: Mengapa Kita Tidak Merasa Sedang Melakukan Keburukan?

 

Artikel:  Mengapa Kita Tidak Merasa Sedang Melakukan Keburukan? 
 
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
 
Tidak punya hati. Begitu biasanya kita menyebut orang-orang yang tega melakukan sesuatu yang melampaui batas. Nyaris setiap hari, di televisi dan media masa lainnya kita menyaksikan orang-orang saling berdebat membela diri. Para pengacara ngeyel soal ketidakterlibatan kliennya. Kita sangat jarang mendengar seseorang yang bersalah secara jantan mengatakan;"Benar, saya telah mengambil sesuatu yang bukan hak saya." Bahkan saat berbohong, keseluruhan bahasa tubuhnya seolah mengatakan bahwa itulah kebenaran yang sesungguhnya. Mengapa bisa begitu ya?
 
Salah satu mata pelajaran yang saya sukai ketika bersekolah adalah tentang anatomi dan fisiologi tubuh manusia. Khususnya, tentang bagaimana tubuh melakukan metabolisme di tingkat selular sehingga setiap sel didalam tubuh kita bisa hidup. Anda tentu masih ingat bahwa setiap makanan yang kita telan mengalami proses digesti dalam saluran cerna. Setelah dicerna, kemudian saripati makanan masuk ke dalam usus kecil atau intestin. Sedangkan usus 12 jari adalah tempat utama dimana proses penyerapan sari makanan melalui vili-vili terjadi. Sari makanan menembus membran sel vili untuk kemudian dilarutkan dalam darah.
 
Jika proses itu kita sederhanakan, darah yang sudah berisi sari makanan itu mengalir menuju ke jantung. Lalu jantung berkontraksi hingga darah mengalir sampai ke pembuluh kapiler. Pembuluh darah di perifer ini memiliki kemampuan untuk melepaskan sari-sari makanan dan memberikannya kepada setiap sel yang dilintasinya. Kira-kira mirip dengan tukang koran yang melemparkan korannya ke depan pintu rumah kita. Setelah itu, sel-sel tubuh mengambil sari makanan, lalu dengan bantuan oksigen memetabolismenya. Proses metabolisme menghasilkan enerji untuk beraktivitas atau material lain untuk tumbuh atau regenerasi sel. Sel hasil regenerasi itu akan menjadi matang, sedangkan sel sebelumnya menjadi tua dan mati. Proses ini berjalan terus menerus sehingga sel-sel dalam tubuh kita merupakan hasil dari segala sesuatu yang kita makan.
 
Jika kita perhatikan, setiap tindakan buruk memiliki 'alasan ekonomi'. Artinya, ada unsur materi yang terlibat. Misalnya, ketika seseorang mencuri, merampok, korupsi atau menipu. Setelah tangan kita mengambil, kemudian kita memakannya. Jadi, setelah tangan, maka organ paling penting yang tercemar berikutnya adalah lidah. Makanya tidak mengherankan jika setelah mengambil sesuatu yang bukan hak kita, maka dosa kita berikutnya adalah 'berbohong'. Mengapa kita berbohong? Karena lidah kita sudah dibentuk dari makanan yang buruk. Makanya, kata-katanya juga menjadi buruk. Semakin banyak kita mengambil, semakin terampil kita berbohong. Semakin sulit untuk mengakui perbuatan buruk kita.
 
Orang bilang, jika kita punya hati nurani maka tidak mungkin bisa berbohong berkali-kali. Itu benar. Ada yang belum saya ceritakan tentang proses peredaran darah itu. Jika Anda membaca literatur, maka Anda akan tahu bahwa setelah menyerap sari makanan di usus halus, darah yang berisi makanan dari nafkah bukan hak kita itu tidak langsung menuju ke jantung. Tidak langsung menuju ke jantung? Iya. Kemana dong jika demikian? Darah itu terlebih dahulu menuju ke hati. Jadi, hati tidak perlu menunggu kiriman dari hasil pompaan jantung untuk mendapatkan darah yang kaya nutrisi. Artinya, hati adalah organ penting pertama yang dikunjungi darah berisi makanan tak halal itu. Jadi, sel-sel baik dalam hati segera diganti oleh sel-sel baru yang tumbuh dari makanan yang buruk. Oleh sebab itu, setelah lidah kita berdusta; selanjutnya hati mengiringi kebohongan-kebohongan yang kita katakan.  Padahal, hati adalah benteng pertahanan terakhir yang bisa menjaga kita dari
perbuatan-perbuatan yang tidak pantas dilakukan.
 
Bisakah Anda membayangkan apa yang terjadi jika 'benteng terakhir' penjaga kebaikan dan keluhuran budi itu sudah tercemar juga? Tentunya kita tidak lagi bisa membedakan antara baik dan buruk. Makanya, kita akan merasa benar meskipun tengah melakukan perbuatan nista. Tapi kan tidak semua perbuatan buruk bermuatan ekonomi. Misalnya? Membolos. Mengkhianati pasangan. Berpura-pura sakit kepada atasan. Mengganggu istri orang lain. Dan sebagainya. Tidak ada faktor ekonomi bukan?
 
Coba perhatikan, biasanya seseorang tidak langsung melakukan perbuatan nista seperti itu. Artinya itu semua itu bukanlah dosa pertama. Dosa pertama manusia biasanya selalu berurusan dengan faktor ekonomi. Jadi mari kita sebut semua hal diatas itu sebagai 'dosa level kedua'. Tanyalah orang-orang yang melakukan tindakan asusila, misalnya; pernahkah dia memakan nafkah tidak halal? Biasanya pernah. Bagaimana melihat kaitan dosa 'level pertama' dengan dosa 'level kedua'?
 
Setelah darah berisi nutrisi tidak berkah itu mencapai jantung, dia dipompa ke sekujur tubuh, bukan? Organ penting apa yang dekat dengan Jantung? Paru-paru. Seluruh sel paru-paru diganti dengan sel-sel dari nafkah buruk. Itulah sebabnya, setiap tarikan nafas kita selalu dipengaruhi oleh perilaku buruk. Selama kita bernafas dengan sel-sel buruk itu, selama itu pula kita hidup dengan spirit yang buruk. Jadi, selama hayat masih dikandung badan; kita akan selamanya bernafas dalam keburukan.
 
Organ penting berikutnya yang dekat ke jantung adalah otak. Tepat ketika darah berisi nutrisi buruk itu menghidupi sel otak, maka pikiran kita pasti cenderung kepada ide dan pemikiran yang buruk. Jangan heran jika setelah sukses melakukan dosa 'level pertama' kita semakin jago untuk merencanakan dosa di 'level-level berikutnya'. Bukankah otak kita sudah dijejali nutrisi yang buruk? Sebentar dulu, bukankah sel otak itu tidak melakukan regenerasi setelah dia mati? Menurut literatur memang begitu. Tetapi, otak itu bekerja dengan energi yang dihasilkan oleh proses metabolisme nafkah tidak berkah. Makanya, dia sangat sulit menghasilkan pemikiran yang positif dan baik. Otak kita semakin cerdas mencari akal untuk melakukan keburukan-keburukan lainnya.
 
Guru mengaji saya pernah mengatakan pesan Nabi bahwa keburukan itu kalau baru sampai kepada niat belum dicatat oleh malaikat sebagai maksiat. Baru menjadi dosa jika sudah dilakukan. Jadi aman, bukan? Aman. Tetapi, coba perhatikan. Dari jantung darah bernutrisi laknat itu dikirim ke sel-sel di tangan dan kaki kita. Kulit kita. Mata kita. Hidung kita. Telinga kita. Seluruh sel didalam tubuh kita. Kira-kira, perilaku dan tindakan seperti apa yang akan dilakukan oleh sekujur tubuh kita jika demikian? Pastilah sekujur tubuh kita akan bersekongkol dengan otak yang sudah menjadi kotor itu agar setiap gagasan buruk itu dapat dilaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Jika sudah demikian, kita tidak ubahnya menjadi seperti monster. Tubuh kita saja yang masih berujud manusia, tapi seluruh daleman sel-selnya sudah tidak lagi memiliki sifat manusiawi. Asalnya dari mana? Dari nafkah tidak berkah yang kita makan.
 
Jadi, sekarang kita mengerti mengapa para pencuri atau ahli korupsi dan pengemplang BLBI bersikeras mengatakan;"Saya tidak melakukannya!" meskipun ada cukup bukti. Karena seluruh sel-sel hidup dalam tubuh yang tumbuh dari nafkah yang buruk tidak memiliki kesadaran lain selain berpikir, barkata, dan bertindak yang buruk-buruk.
 
Ada orang yang ngotot mengatakan; "Dosa pertama saya tidak berkaitan dengan faktor ekonomi. Jadi, saya menjadi orang jahat pasti karena Tuhan salah mendisain sel-sel tubuh saya." Ada yang seperti itu? Ada. Lantas bagaimana caranya kita memahami fenomena itu? Sederhana. Tanyakan kepada Ayah atau Ibu kita; apakah mereka pernah memberi kita makanan dari hasil korupsi, mencuri, menipu atau apapun yang bukan menjadi hak kita?  Setiap manusia itu lahir dalam keadaan suci. Namun, jika setelah lahir kita diberi nutrisi oleh orang tua dengan nafkah yang kotor, maka kesucian itu akan segera berganti. Makanya, tidak mengherankan jika sejak kecil pun kita bisa melakukan perbuatan-perbuatan nista. Oleh sebab itu juga, jika kita korupsi, maka anak dan istri kita akan kompak membela kita. Meskipun logika pembelaan mereka sudah terbalik-balik. Pantaslah jika guru mengaji saya mengatakan bahwa Sang Nabi suci mewanti-wanti agar kita memberi anak dan istri nafkah yang
baik.....
 
Kita tahu bahwa kebenaran tidak bisa bercamur aduk dengan kebatilan. Kabaikan tidak senang berteman dengan keburukan. Ini menjelaskan, mengapa sekujur tubuh kita begitu kompak untuk melakukan kebejatan-kebejatan. Lidah kita terampil berdusta. Mimik wajah kita pandai memasang roman kesungguhan. Dan hati kita, seolah-olah tidak lagi berisi nurani. Karena, sel-sel tubuh yang dibangun dari nutrisi buruk akan dengan suka cita besekongkol dengan gagasan-gagasan buruk, dan tindakan terkutuk. Sebaliknya, beraaaaaaat sekali rasanya untuk berbuat baik. Karena tubuh yang dibangun dengan nafkah yang buruk tidak suka bergaul dengan segala hal yang baik. Persis seperti firman Tuhan melalui Sang Nabi; "....bahkan kamu mengira Allah tidak mengetahui tentang apa yang kamu kerjakan." Semua itu berasal dari hal sepele; memakan makanan yang bukan hak kita.
 
Semoga Tuhan berkenan memaafkan dosa-dosa kita dimasa lalu. Dan memberi kita nafkah yang berkah. Setelah nafkah itu berkah, semoga juga jumlahnya melimpah.
 
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman
www.bukudadang.com dan www.dadangkadarusman.com
 
Catatan Kaki:
Berpuasa adalah salah satu cara untuk mensucikan sel-sel tubuh kita dari nafkah yang buruk. Karena dalam sahur ada berkah. Dalam buka ada ampunan. Kalau puasanya benar, semoga kita bisa kembali kepada fitrah.
 
Melalui project Mari Berbagi Semangat! (MBS!) sekarang buku saya yang berjudul "Belajar Sukses Kepada Alam" versi Bahasa Indonesia dapat diperoleh secara GRATIS. Jika Anda ingin mendapatkan ebook tersebut secara gratis silakan kunjungi petunjuknya di www.bukudadang.com  

--------------------------------
Buku-buku terbaru Dadang Kadarusman sudah tersedia di toko buku atau bisa dipesan di http://www.bukudadang.com/

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
MARKETPLACE

Hobbies & Activities Zone: Find others who share your passions! Explore new interests.


Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.


Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___
[gudang-ilmu] Artikel:  Saatnya Berkiblat Kepada Kompetensi

[gudang-ilmu] Artikel: Saatnya Berkiblat Kepada Kompetensi

 

Artikel:  Saatnya Berkiblat Kepada Kompetensi 
 
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
 
Saya bertanya-tanya; 'apakah kita bisa menggunakan momentum peringatan Hari Kemerdekaan RI tahun ini untuk mulai sungguh-sungguh berkiblat kepada kompetensi'. Artikel saya sebelumnya yang berjudul "Apakah Gelar Seseorang Menentukan Kualitas Dirinya?" mendapatkan tanggapan yang beragam. Baik melalui milis maupun email japri. Pada awalnya, saya mampu merespon tanggapan-tanggapan tersebut satu persatu. Namun, karena banyak diantaranya yang senada, maka saya memutuskan menulis artikel ini untuk merangkumnya, sekaligus merespon kepada semuanya.
 
Salah satu fakta tak terbantahkan adalah bahwa gelar itu penting sekali ketika mengajukan proposal proyek, melamar pekerjaan, atau meyakinkan calon klien untuk jasa konsultasi yang kita tawarkan. Sungguh, ini lho fungsinya gelar kita. Justru pada saat seperti itu kita tidak perlu ragu untuk menggunakannya. Perlihatkan semua yang kita miliki. Karena inilah saatnya jerih payah kita untuk meraih gelar itu membuahkan hasil. Go, and get it!
 
Dalam konteks yang lain, saya masih ingat sebuah forum dimana Tony Robbins menceritakan pengalamannya dihujat oleh orang-orang pintar pemegang gelar PhD dibidang psikologi. Intinya mereka mempertanyakan; 'siapa elo berani-beraninya ngomong soal jiwa manusia?' Respon santai dan urakan Robbins kira-kira begini; "Sebenarnya saya ini seorang PhD psikologi seperti Anda. Bedanya Anda mendapatkannya di bangku kuliah, sedangkan saya memperolehnya dari universitas kehidupan nyata."
 
Dengan pernyataannya, Robbins ingin menyadarkan kita; 'kenapa sih masih harus tanya gelarmu sekeren apa, bukannya kemampuanmu setinggi apa?' Ini benar-benar menohok para pemuja gelar itu. Terlepas dari siapa dan bagaimana sepak terjang Tony, bagi saya ini merupakan salah satu contoh klasik pergulatan soal gelar yang tidak hanya terjadi di Indonesia. Di dunia barat pun demikian. 
 
Setelah membaca beragam tanggapan yang muncul, saya mencoba membuat sebuah peta yang membagi perilaku kita dalam penggunaan gelar ini menjadi 4 kelompok:
 
Pertama, Banyak gelar-tinggi kompetensi. Budaya terbuka dan sifat ekstrovert mendasari munculnya karakter kelompok seperti ini. Jika Anda terbiasa dengan pergaulan atau forum-forum internasional, tentu tidak merasa asing dengan fenomena seperti ini. Sungguh sangat mengasyikan berada ditengah-tengah forum seperti itu. Kita seolah tengah bertamasya di dunia intelektual yang penuh makna. Kita bisa secara leluasa menunjukkan siapa diri kita atau memperlihatkan gelar-gelar kita tanpa ada kekhawatiran dinilai secara negatif. Semakin lama kita bergaul dalam lingkungan seperti ini, semakin termotivasi kita untuk terus meningkatkan diri serta menambah gelar-gelar yang kita miliki.
 
Bahkan, di kalangan ilmuwan yang tulus seperti mereka ini, kita melihat penghargaan yang mencengangkan. Misalnya, mereka tidak segan-segan menyebut koleganya sebagai Professor, padahal orang itu belum dianugerahi gelar professor. Atau, mungkin Anda pernah mendengar ilmuwan-ilmuwan kelas dunia berkata;"Dengan keluasan pengetahuan yang Anda miliki, seharusnya Anda sudah bergelar PhD."
 
Orang-orang yang benar-benar pintar justru sangat mengerti jika tengah berhadapan dengan orang berilmu tinggi lainnya. Dan mereka berani melampaui sekat-sekat sempit bernama sertifikat. Oleh sebab itu, kita sering melihat orang-orang yang bergelar mentereng, DAN berkompetensi tinggi. Saya selalu terpesona oleh keluhuran ilmu sosok orang-orang seperti ini. Saya melihat mereka sebagai orang-orang "Excellent and confident".
 
Kedua, Sedikit gembar gembor gelar-tinggi kompetensi. Sifat menahan diri dan introvert mendasari sikap seperti ini. Banyak orang yang sebenarnya memiliki gelar yang tinggi. Mereka juga mempunyai kompetensi tinggi. Tapi, mereka tidak mengumbar gelarnya. Di kalangan masyarakat timur, kita sering menemukan orang-orang yang seperti ini. Bergaul dengan mereka menjadikan kita sadar bahwa yang paling penting itu adalah kemampuan dan karya yang bisa kita hasilkan, bukan sebutan yang kita sematkan. Bukan pula baju-baju kebesaran yang kita kenakan. Saya pribadi, tidak pernah kehilangan rasa hormat kepada orang-orang seperti ini. Saya melihat mereka sebagai orang-orang "Great and humble".
 
Ketiga, Sedikit gelar-rendah kompetensi. Secara jujur kita bisa melihat orang-orang yang kompetensinya biasa-biasanya saja. Mereka juga tidak terlampau mengagung-agungkan gelar yang dimilikinya. Mereka tidak mengklaim gelar-gelar yang tinggi, apa lagi yang aneh-aneh. Betapa mereka bersedia menerima kenyataan bahwa beginilah diri mereka adanya. Saya tidak pernah kehilangan rasa kagum kepada mereka yang berbesar hati dengan segala kejujuran dan kebersahajaannya. Saya melihat mereka sebagai orang-orang "Realistic".
 
Keempat, Banyak gelar-rendah kompetensi. Sudah bukan rahasia lagi jika banyak gelar yang bisa dibeli atau ditempel-tempelkan sendiri tanpa memperhitungkan kompetensi. Inilah jadinya jika kita terlampau mengagung-agungkan gelar seseorang. Hal ini berlaku mulai dari gelar ecek-ecek yang dikarang-karang sendiri, sampai kepada gelar formal yang tidak memiliki isi. Saya melihat kelompok ke-empat ini sebagai "Misleading".
 
Kita semua turut bertanggungjawb untuk mengurangi ekses dari kelompok yang nomor 4 (misleading) ini. Kita bisa memulainya dengan menempatkan 'kesakralan' gelar itu dalam batas-batas kewajaran. Konkritnya bisa bermacam-macam, misalnya:
 
Gelar akademis yang benar-benar diperoleh melalui proses pendidikan dengan sistem pengawasan para guru bermutu. Kurikulum bukanlah jaminan. Jika para gurunya kurang telaten, mahasiswa yang menjiplak hasil penelitian orang lain bisa kelolosan. Guru, tidak bisa berlepas tangan dengan fenomena seperti ini. Mengatakan 'kami juga merasa kecolongan' sama sekali bukan cerminan pertanggungjawaban.
 
Gelar keahlian yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang kompeten. Apakah siapapun boleh mengeluarkan sertifikasi apapun? Lembaga seperti apa yang berhak mengeluarkan gelar penanda standard keahlian? Kadang-kadang kita sudah merasa berhak menuliskan kata 'certified' begitu kita mendapatkan selembar kertas bertuliskan 'Sertifikat'. Setiap kali mengikuti sebuah training, kita mendapatkan sertifikat. Tetapi, perlu kita lihat, apakah kertas itu berisi sertifikat 'mengikuti sebuah training' atau 'sertifikasi pencapaian standard kualifikasi' tertentu. Beda? Sangat beda sekali.
 
Gelar lain-lain. Tidak ada yang melarang seseorang untuk mengenakan gelar-gelar dirinya. Jaman dahulu, kita menggunakan gelar kebangsawanan. Tidak menjadi soal, jika memang kita ini bangsawan. Jaman sekarang, kita menggunakan gelar juga. Sekedar self-introspection; penggunaan gelar lain-lain yang paling parah, mungkin terjadi di dunia pelatihan. Menurut hemat saya, tidak masalah jika gelar-gelar yang digunakan itu masih relevan dan tidak over klaim. Diluar konteks itu, sudah saatnya bagi kita untuk mulai menahan diri. Sekaligus menjadi contoh dalam proses edukasi kepada masyarakat, bahwa gelar itu memang penting. Namun, jauh lebih penting dari semua itu adalah; kompetensi.
 
Apa untungnya jika kita berkiblat kepada kompetensi? Banyak. Antara lain, setiap kali selesai melakukan suatu hal penting, kita berkesempatan untuk menanyakan kepada diri sendiri;"apa yang bagus dan yang kurang tepat dari aktivitas tadi itu?" Dengan begitu, kita selalu melihat ruang untuk melakukan perbaikan. Selain itu, dengan kompetensi yang tinggi kita memiliki daya saing yang tinggi. Bicara soal realitas? Tengok saja bagaimana kiprah generasi muda Indonesia di kancah olimpiade fisika, matematika, biologi dan science tingkat dunia. Begitu pula dengan tenaga terdidik pekerja professional asal Indonesia di dunia kerja internasional. Kita masih bisa lebih baik lagi.
 
Sebaliknya, jika kita masih berkiblat kepada 'gelar' maka kita akan terbelenggu oleh begitu banyak keterbatasan. Kita akan merasa tidak berdaya karena kekurangan gelar. Lalu kita menyerah, dan membiarkan orang lain yang mengambil kesempatan. Atau sebaliknya, kita melawan dengan menempuh cara apa saja untuk sekedar meraih gelar. Jika kita masih bersikap begitu, tandanya kita masih terjajah oleh belenggu pemikiran dan paradigma yang sempit. Sudah saatnya untuk memerdekakan diri dari jenis penjajahan mental seperti itu. Lagi pula, bukankah esensi dari kemerdekaan itu adalah membebaskan diri dari belenggu persepsi-persepsi mental yang tidak perlu? Mumpung kita memiliki momentum hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 – 17 Agustus 2010. Mari sama-sama belajar memerdekakan diri untuk mulai berkiblat kepada kompetensi. Selamat Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-65.
 
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman
Writer, Trainer, and Speaker
www.bukudadang.com dan www.dadangkadarusman.com
 
Catatan Kaki:
Tetaplah berpikir positif kepada orang-orang yang berkiblat kepada kompetensi. Jika hari ini Anda menilainya 'biasa-biasa saja', mungkin tahun depan mereka bisa berubah menjadi 'sangat mengagumkan'.
 
Melalui project Mari Berbagi Semangat! (MBS!) sekarang buku saya yang berjudul "Belajar Sukses Kepada Alam" versi Bahasa Indonesia dapat diperoleh secara GRATIS. Jika Anda ingin mendapatkan ebook tersebut secara gratis silakan kunjungi petunjuknya di www.bukudadang.com  

--------------------------------
Buku-buku terbaru Dadang Kadarusman sudah tersedia di toko buku atau bisa dipesan di http://www.bukudadang.com/

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
MARKETPLACE

Hobbies & Activities Zone: Find others who share your passions! Explore new interests.


Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.


Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.

.

__,_._,___
[gudang-ilmu] Tips: Bagaimana Mengembangkan SDM Di Bulan Ramadhan?

[gudang-ilmu] Tips: Bagaimana Mengembangkan SDM Di Bulan Ramadhan?

 

Tips: Bagaimana Mengembangkan SDM Di Bulan Ramadhan?
 
Hore,
Hari Baru!
Teman-Teman.
 
Hari ini kita memasuki hari pertama puasa (Ramadhan) 1431H. Sayangnya, bulan puasa kadang disalahartikan sebagai bulan 'slow down'. Padahal, justru sebaliknya bulan Ramadhan merupakan bulan 'peak performance' secara lahir dan batin untuk menjadi manusia yang jauh lebih baik dari tahun sebelumnya. Oleh karena itu, bulan Ramadhan bisa menjadi momentum istimewa untuk melakukan training bagi karyawan di perusahaan.
 
Beberapa prinsip berikut ini mungkin bisa diterapkan di perusahaan Anda:
Prinsip pertama, Universal. Yakini bahwa momentum pelatihan bulan puasa bukanlah milik kaum muslimin belaka, melainkan seluruh karyawan di perusahaan. Kita bisa mengajak semua orang untuk memiliki semangat perenungan di bulan ini dengan tetap berpegang teguh kepada keyakinan masing-masing. Perenungan itu dibutuhkan oleh setiap insan, setiap hari. Misalnya, setiap malam menjelang tidur pun kan kita bisa dan biasa merenungkan apa yang sudah kita lakukan sepanjang hari ini. Sehingga, kita semua bisa menjadikan bulan Ramadhan sebagai momentum untuk bersama-sama membangun kebiasaan proses perenungan itu. Mumpung suasana dan lingkungannya mendukung. Dengan begitu proses belajar kita bisa lebih berdampak.
 
Prinsip kedua, Terbuka. Pada dasarnya, training apapun bisa dilakukan pada bulan puasa. Hanya saja, porsi tuntutan terhadap kerja atau aktivitas fisik perlu disesuaikan dengan kondisi para peserta yang sedang berpuasa. Porsi rangsangan daya pikir tidak berubah, bahkan bisa lebih tajam. Sedangkan porsi kesiapan mental/emosional/spiritual bisa lebih tinggi dari hari-hari lainnya.
 
Prinsip ketiga, Toleran. Di bulan Ramadhan, prinsip toleran bisa benar-benar diterapkan. Tapi jangan salah kaprah. Tidak berarti pada bulan Ramdahan kaum muslimin yang berpuasa boleh mendapatkan porsi tanggungjawab yang lebih rendah. Justru bulan Ramadhan itu merupakan tempat latihan fisik, mental, emosional, dan spiritual yang paling gigih untuk membekali diri dalam menghadapi 11 bulan lainnya dalam setahun. Toleran di bulan Ramadhan berarti kita bisa belajar saling memahami satu sama lain. Dalam proses belajar, hal ini bisa diwujudkan secara nyata misalnya pada acara buka puasa bersama.
 
Saya menyarankan acara buka puasa itu dijadikan momen silaturahmi seluruh karyawan di perusahaan. Bukan hanya karyawan muslim. Oleh sebab itu, materi ceramah pada saat buka puasa sebaiknya dibuat general, sehingga teman-teman yang bukan muslim merasa nyaman mendengarnya dan memiliki semangat belajar yang sama untuk menciptakan etos kerja dan kinerja perusahaan yang lebih baik.
 
Lho, bukankah di bulan Ramadhan kita harus lebih banyak bedzikir, tafakur, mengaji dan mengkaji ilmu-ilmu ke-Islam-an? Benar. Namun kita perlu menyadari bahwa yang disebut sebagai 'ilmu agama' itu tidak hanya berkaitan dengan hal-hal ritual belaka, melainkan mencakup seluruh kehidupan kita termasuk bekerja dan besosialisasi. Apa lagi jika kita berpegang teguh kepada firman Tuhan, bahwa Nabi SAW membawa Islam untuk menjadi Rahmatan Lil 'Alamiin. Menjadi rahmat bagi seluruh alam.
 
Lho, kalau acara buka puasa diisi oleh ceramah atau seminar bertema umum, kapan kita bertadarrus? Tadarus itu bagian dari Dzikir.  Sedangkan Adz-Dzkir itu memiliki kelapangan yang sungguh sangat luas dan agung. Saking mulianya Dzikr itu, sampai-sampai seorang Muslim diperintahkan untuk melakukannya pada saat berdiri, ketika duduk, maupun sedang berbaring. Tidak ada saat yang terlewat kecuali bersama dzikir. Begitulah Rasulullah menasihatkan.
 
Ya, itu Dzikir munfarid (pribadi/perorangan). Bagaimana dengan Dzikr berjamaah? Mari kita perhatikan. Setiap hari, kita memiliki waktu sekitar 1 jam untuk beristirahat. Diluar bulan Ramadhan, kita menggunakan waktu  1 jam tersebut untuk memberi diri kita nutrisi fisik, alias makan siang. Bulan suci Ramadhan akan menjadi semakin indah ketika kita setiap hari bisa menggunakan waktu 1 jam itu untuk Dzikr berjamaah di kantor. Mengaji dan mengkaji. Mengundang para alim 'ulama untuk meningkatkan pemahaman kita terhadap Al-Islam.
 
Mulailah dari hal sederhana. Misalnya, apa sih arti 'Islam' itu? Al-Islam memiliki banyak makna. Salah satunya adalah, 'Keselamatan". Islam itu diturunkan untuk membawa keselamatan bagi seluruh alam. Jadi, seorang muslim sejati pasti sanggup memastikan keselamatan siapapun yang berada disekitarnya melalui sikap adil dan penyayangnya.
 
Islam juga berarti "Kedamaian". Kita perlu bertanya kembali, apakah sebagai seorang pemeluk Islam kita sudah mampu memberi kedamaian kepada kolega-kolega kita. Tetangga-tetangga kita. Bahkan kepada pesaing-pesaing kita?
 
Al-Islam juga berarti penyerahan diri. Kepada siapa? Kepada Sang Pemilik segala kebenaran. Dia-lah yang oleh para Bapak Bangsa kita digambarkan sebagai titik pusat ikrar kebangsaan kita: "Ketuhanan Yang Maha Esa."
 
Hal-hal semacam ini sangat baik untuk dikaji setiap hari pada jam istirahat siang di kantor. Sedangkan acara buka puasa bersama itu apa? Itu bukan momentum milik karyawan yang berpuasa saja. Melainkan kesempatan bagi ummat Islam untuk semakin mendekatkan diri dengan rekan-rekan lainnya. Lagi pula, acara buka puasa bersama cukup dilakukan satu kali selama bulan Ramadhan itu. Sedangkan acara tadarrus dan Dizkr tadi, bisa dilakukan setiap hari pada saat istirahat siang, selama bulan Ramadhan.
 
Sekarang, ijinkan saya untuk mengambil 2 kesimpulan:
Pertama,  istirahat harian 1 jam di kantor bisa digunakan menjadi acara 'santap ruhani' seluruh karyawan muslim. Patut sekali jika manajemen atau HRD di kantor memfasilitasi program 'training keislaman' dengan memanggil para alim 'ulama untuk meningkatkan keimanan dan etos kerja karyawan setiap hari. Silakan hitung itu sebagai 'training hour' dalam proses pengembangan SDM Anda. Ulama bisa membantu karyawan untuk menemukan bahwa 'bekerja adalah bagian penting dalam proses peribadatan seseorang'. Sehingga etos kerja orang yang faham terhadap ajaran Islam pasti akan jauh lebih baik lagi.
 
Kedua, acara buka puasa bersama bisa dijadikan ajang silaturahmi dan saling berkasih sayang dengan seluruh karyawan di perusahaan. Pada momen ini, sebaiknya HRD dan menejemen memfasilitasi proses belajar dengan topik yang general dan bisa diterima oleh semua orang yang hadir. Saya yakin Anda bisa menemukan para pembicara yang tepat untuk sesi-sesi seperti ini. Indonesia, memiliki banyak sekali trainer hebat. You can count on them, believe me.
 
Dengan demikian, aspek vertical maupun horizontal dari makna Ramadhan ini bisa tercapai. Karena Islam, sama sekali bukan hanya tentang urusan penyembahan kepada Allah Yang Esa. Melainkan juga tentang kontribusi dan kepedulian kita semua kepada sesama.
 
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman
Writer, Trainer, and Speaker
www.bukudadang.com dan www.dadangkadarusman.com

--------------------------------
Buku-buku terbaru Dadang Kadarusman sudah tersedia di toko buku atau bisa dipesan di http://www.bukudadang.com/

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___
[gudang-ilmu] Artikel:  Apakah Gelar Seseorang Menentukan Kualitas Dirinya?

[gudang-ilmu] Artikel: Apakah Gelar Seseorang Menentukan Kualitas Dirinya?

 

Artikel:  Apakah Gelar Seseorang Menentukan Kualitas Dirinya?  
 
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
 
Berapa banyak gelar yang Anda miliki? Insinyur, Dokter, Doktorandus, Master, PhD, Professor? Semua gelar yang sangat membanggakan, tentunya. Bukankah itu juga yang menjadi alasan utama mengapa kita bersekolah? Mungkin memang demikian. Namun, ada indikasi bahwa kita sudah semakin silau dengan gelar. Bahkan sekarang sering muncul gelar-gelar baru yang hebat-hebat, unik-unik, dan aneh-aneh. Menurut pendapat Anda sendiri, seberapa pentingnya sih sebuah gelar itu?
 
Pada awal tahun 2000an saya menghabiskan waktu bersama beberapa teman di Ray Brook, sebuah kota kecil di pinggiran kemilau New York city. Salah satu diantara teman saya itu berkebangsaan Turki. Ketika hendak berpisah, kami saling bertukar cendera mata agar bisa menjadi kenangan kami. Karena dia suka mengoleksi mata uang negara lain, maka saya memberinya beberapa koin mata uang rupiah. Sebagai balasannya teman saya ini memberikan satu lembar uang lira Turki. Saya terkejut ketika dia menyerahkan uang senilai satu juta lira itu."I couldn't take it!", saya bilang. Teman mengatakan bahwa di Turki dia hanya bisa membeli dua potong roti dengan uang satu juta itu. Bukan berarti harga barang-barang di Turki sangat mahal, melainkan karena terlampau rendahnya nilai mata uang mereka. Diam-diam, saya memiliki tekad untuk benar-benar membeli roti di negeri Turki.
 
Saya beruntung mempunyai momen langka seperti itu. Karena kemudian saya menyadari bahwa kita ternyata tidak jauh berbeda dengan mata uang. Jika kita biasa membanding-bandingkan nilai tukar rupiah dengan dollar, euro, poundsterling dan mata uang dunia lainnya; maka sebaiknya kita juga belajar membandingkan 'nilai diri kita' dengan orang lain. Sekarang kita menyadari betul bahwa nilai tukar mata uang itu sama sekali tidak ditentukan oleh jumlah angkanya. Melainkan dengan 'nilai benda' yang bisa dibeli olehnya. Dalam kasus lira Turki yang saya terima dari teman saya di awal tahun 2000an itu, besar nilai nominal yang tertera dalam lembarannya sama sekali tidak memberi arti bermakna. Manusia juga sama. Panjangnya gelar yang menempel didepan atau dibelakang nama kita sama sekali tidak menentukan 'nilai' kita yang sebenarnya.
 
Anehnya, kita sering terpukau oleh gelar yang mentereng dan berjajar panjang menghiasi nama kita. Apakah itu salah? Tidak. Silakan saja. Namun, hendaknya kita mendahulukan 'nilai' sesungguhnya dari diri kita melebihi deretan gelar itu. Apa gunanya suatu mata uang yang memiliki jejeran angka nol yang sangat banyak, namun nilainya hanya setara dengan dua potong roti. Mending mata uang lain yang meskipun angka nolnya hanya satu, bahkan tidak memiliki angka nol sama sekali; namun dia bisa ditukarkan dengan roti dalam jumlah yang sama dengan satu juta yang saya terima dari teman Turki tadi.
 
Hal ini memberi saya kesadaran bahwa ternyata memang 'bukan' angka nominal yang panjang yang menentukan nilai uang. Dan, bukan deretan gelar yang panjang yang menentukan nilai seseorang. Apa lagi jika gelar-gelar yang kita tempelkan itu bukan hasil pendidikan, melainkan hasil klaim pribadi atau sekelompok orang. Misalnya, dengan menjadi seorang sopir angkot, saya tentu tidak perlu memberi diri sendiri gelar sebagai 'sopir angkot terbaik' bukan? Selain hal itu sama sekali tidak mewakili kemampuan mengemudi dan perilaku 'berlalulintas' saya, juga tidak jelas apa ukurannya. Mengapa saya tidak merasa puas dengan gelar 'sopir angkot' saja? Apa lagi kenyataannya tidak ada lembaga apapun yang memberi legitimasi kepada saya untuk menyebut diri sebagai 'sopir angkot terbaik' itu. Memangnya kapan saya dibandingkan dengan para sopir angkot lainnya?
 
Bulan Mei 2006, saya duduk di dermaga selat Bosporus, tepat disamping sebuah pelabuhan kapal Feri di Besiktas. Orang-orang Turki menggunakan Feri itu untuk menyeberang ke daratan Eropa di pagi hari, dan kembali ke sisi lain di daratan Asia. Beberapa meter dari tempat duduk saya ada seorang Bapak tua yang menjajakan roti. Saat perut terasa lapar, pedagang roti itupun saya hampiri. Lalu saya membeli sepotong roti. Harganya hanya dua setengah lira. Lho, kok harganya bukan 500 ribu lira? Tentu saja, karena Turki di tahun 2000 berbeda dengan Turki tahun 2006. Tuhan mengijinkan saya mewujudkan tekad untuk membeli roti di Turki, namun uang yang saya gunakan sudah tidak sama lagi. Ketika Turki berhasil melakukan redenominasi mata uangnya, ternyata mereka berhasil memotong deretan angka nol yang tidak memiliki arti.
 
Jangan-jangan kita juga seperti itu. Ketika kita berhasil 'meredenominasi' penghargaan yang berlebihan terhadap gelar seseorang, mungkin kita bisa berhasil memotong deretan gelar-gelar yang tidak memiliki arti. Dengan menggunakan nilai nominal baru yang lebih pendek itu, orang Turki sama sekali tidak kehilangan 'nilai' mata uangnya. Dengan menggunakan paradigma gelar baru yang lebih pendek itu, kita harus yakin tidak akan pernah kehilangan 'nilai diri kita yang sesungguhnya'. Kita sering melihat orang-orang yang bergelar sedemikian panjangnya sehingga namanya sendiri nyaris tenggelam oleh deretan gelar itu. Padahal, jika gelar-gelar yang berentet itu dikurangi, sama sekali tidak akan menurunkan kualitas atau ketinggian nilai dirinya.  
 
Bukankah setiap orang berhak menggunakan gelarnya? Oh, tentu. Salah seorang sahabat saya mendapatkan gelar 'Professor' pada usia muda. Banyak sahabat saya yang berhasil meraih gelar PhD. Mereka adalah orang-orang yang kualitas dirinya 'sudah teruji'. Dari mereka saya belajar bahwa 'menempelkan' gelar perlu didahului oleh 'nilai diri' yang sesunggunya. Dengan cara itu barulah sebuah gelar memiliki makna. Apa jadinya jika kesilauan kita terhadap gelar akhirnya mendorong kita untuk mendapat gelar 'dengan cara apapun'. Termasuk diantaranya memalsukan tesis atau bahkan membelinya dari sekelompok pedagang ijazah di toko kelontong berlabel kampus.
 
Ketika menyerahkan uang 1 juta lira-nya, teman saya berkelakar;"Sekarang kamu tahu Dang, kalau gaji saya di Turki bernilai Milyaran......." Kami terbahak-bahak karena mulai sadar jika angka nominal yang panjang itu tidak lebih dari sekedar guyonan belaka. Ketika kita menempelkan begitu banyak gelar pada nama kita, boleh jadi banyak orang yang mentertawakan kita. Terutama mereka yang benar-benar memiliki ilmunya. Karena mereka tahu bahwa kedalaman ilmu seseorang tidak bisa dilukiskan dengan gelar yang panjang.
 
Hanya saja, ada bedanya antara uang dengan gelar keilmuan. Saya mengenal beberapa orang yang berpendidikan tinggi. Mendapat gelar dari hasil perjuangannya bersekolah. Kecanggihan ilmunya diakui oleh kalangan industri maupun dunia pendidikan. Namun, orang-orang itu tidak sembarangan menggunakan gelar yang dimilikinya. Mereka hanya menggunakan gelar-gelar itu dalam forum-forum yang relevan. Sedangkan di luar forum itu, mereka memilih untuk menampilkan nama dirinya sendiri. Sungguh, orang-orang itu telah berhasil membangun penghormatan sejati. Gambaran manusia berilmu yang sesungguhnya. Mereka yang berjuang untuk ilmu, bukan semata-mata untuk meraih gelarnya.
 
Sekarang, masyarakat di negara kita tengah ramai membicarakan wacana redenominasi nilai rupiah. Kita sudah sadar bahwa angka nol yang panjang itu sama sekali bukan jaminan tingginya nilai tukar mata uang kita. Semoga saja, kesadaran ini juga kita imbangi dengan kesadara lain bahwa; gelar kita sama sekali bukanlah faktor penentu kualitas diri kita. Jika kita sudah bosan dengan gelembung nilai rupiah yang kempos, maka mungkin sudah saatnya juga bagi kita untuk 'mulai bosan' dengan mengagung-agungkan gelar didepan dan belakang nama kita. Apakah gelar akademis yang dipakai tidak pada tempatnya, atau pun gelar-gelar lain yang kita dapat dari ranah antah berantah.
 
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman
Writer, Trainer, and Speaker
www.bukudadang.com dan www.dadangkadarusman.com
 
Catatan Kaki:
Nilai seseorang sama sekali tidak ditentukan oleh embel-embel yang menempal pada namanya. Melainkan kepada kemampuan aktual yang bisa disumbangkannya kepada dunia.
 
Melalui project Mari Berbagi Semangat! (MBS!) sekarang buku saya yang berjudul "Belajar Sukses Kepada Alam" versi Bahasa Indonesia dapat diperoleh secara GRATIS. Jika Anda ingin mendapatkan ebook tersebut secara gratis silakan kunjungi petunjuknya di www.bukudadang.com  

--------------------------------
Buku-buku terbaru Dadang Kadarusman sudah tersedia di toko buku atau bisa dipesan di http://www.bukudadang.com/

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___
[gudang-ilmu] File - Indonesia Online Ribuan anak bangsa ada di sini

[gudang-ilmu] File - Indonesia Online Ribuan anak bangsa ada di sini

 


Indonesia Online, Ribuan anak bangsa ada di sini

Media komunikasi online anak bangsa baik di Indonesia maupun di manca negera, dimanapun Anda berada. Silahkan ngobrol di sini, bebas dan tetap sopan tentunya. Selalu Posting dengan LENGKAP sebutkan DENGAN JELAS identitas anda (Nama, web/blog, boleh HP) dalam setiap bagian akhir posting. Dilarang: beriklan langsung kecuali di bagian footer email anda, maksimum 3 baris. Tidak diperkenankan: posting yang vulgar, argumentatif, sara, menyinggung privacy member lain, atau posting yang berulang-ulang, atau yang bertendensi iklan berlebihan. Semoga Milinglist ini dapat membuat kita bersama semakin berdaya.

Join us now: http://groups.yahoo.com/group/indonesia-online

Best regards
Indonesia-Online Moderator

__._,_.___
Recent Activity:
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.


Hobbies & Activities Zone: Find others who share your passions! Explore new interests.


Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.

.

__,_._,___
[gudang-ilmu] File - Salam Kenal dari Owner Gudang Ilmu

[gudang-ilmu] File - Salam Kenal dari Owner Gudang Ilmu

 


From : Mufli (Moderator Gudang-Ilmu)

Hello Kawan,

Terima kasih telah bergabung di milinglist GUDANG-ILMU
yang saya kelola. Melalui milinglist ini saya persembahkan
untuk anda semua berbagi ilmu untuk pemberdayaan bersama.
Saya undang anda berpartisi aktif, dengan mengirimkan
artikel, komentar, tips yang bermanfaat, serta jangan lupa
tetap mematuhi aturan main yang saya jelaskan di bagian
depan halaman description milinglist Gudang-Ilmu:
http://groups.yahoo.com/group/gudang-ilmu

Untuk selalu mendapatkan informasi terbaru dari saya langsung
ke email Anda, silahkan set EMAIL DELIVERY anda sebagai INDIVIDUAL,
atau setidaknya SPECIAL NOTICE.

Oya, salam kenal lebih dekat :)
Saya Mufli, tinggal di Jalan Merak 6/44 Rewwin, Sidoarjo
Indonesia. Saya banyak mengelola situs online, yg umumnya
merupakan support system untuk bisnis, training dan publikasi.

Thank you rekans :)

Best Regards

Mufli
Moderator, Gudang-Ilmu

Bila Anda ingin mengundang teman untuk join milinglist ini,
Silahkan copy undangan berikut ini, silahkan ganti informasi
tentang Anda di bagian akhir (Salam), lalu kirimkan undangan
kepada kawan-kawan Anda.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Subject: Undangan Join Gudang-Ilmu
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Hi kawan,

Ilmu bukanlah yg nomor satu,
bahkan percuma tanpa dibawa dalam tindakan.
Dengan ilmu dan hasrat yang menggebu,
banyak orang berjaya dan bermakna untuk sekitarnya.
Ilmu tentang bisnis internet, cara membangun team,
security online, forex, adsense, network marketing,
business broker, franchising, autosurf, serta juga
home based business, affiliate program, reseller,
dan sebagainya dengan cemerlang dapat ANDA dipaparkan
di forum ini, saya undang anda para pakar dan
praktisioner yang komptens.

JOIN US NOW, Semoga hanya yang terbaik buat Anda !

Cara bergabung adalah dengan mengirimkan email kosong
alamat ini:

gudang-ilmu-subscribe@yahoogroups.com

Atau silahkan berkunjung ke sini:

http://groups.yahoo.com/group/gudang-ilmu

Salam sukses paling sukses buat Anda.

Thanks Again.



__._,_.___
Recent Activity:
MARKETPLACE

Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.


Hobbies & Activities Zone: Find others who share your passions! Explore new interests.


Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Blogger news