Pages

feature content slider

Powered by Blogger.

Pages - Menu

Popular Posts

Arsip Blog

Blogger templates

[gudang-ilmu] Artikel – Kenapa Pusing Dengan Kelemahan Orang Lain?

[gudang-ilmu] Artikel – Kenapa Pusing Dengan Kelemahan Orang Lain?

 

Artikel – Kenapa Pusing Dengan Kelemahan Orang Lain?
 
Hore, Hari Baru! Teman-teman.
 
Biasanya orang pusing karena kelebihan orang lain. Mereka punya mobil baru, kita kesal. Mereka yang naik pangkat, kita yang sebal. Kelebihan apapun yang dimiliki orang lain, bisa membuat kita pusing tujuh keliling. Tapi, ada juga lho orang yang justru pusing karena orang lain mempunyai kelemahan. Emang ada? Oooh, banyak banget orang yang justru pusing gara-gara kelemahan orang lain. Emang Anda tidak pusing? Misalnya, ni ye; atasan kita pemarah, lha kok kita yang pusing? Teman kantor suka membolos, kita yang kesal. Pesaing terdekat kita senang menjilat atasan, malah kita yang jadi panas hati. Ternyata, lebih banyak orang yang pusing karena kelemahan orang lain daripada gara-gara kelebihan mereka. So, what? Hmmh, implikasinya banyak sekali lho...
 
Dikisahkan ada seorang guru kebijaksanaan yang memiliki 2 murid. Diakhir pelajaran, beliau menugaskan kedua muridnya untuk mengembara, sambil saling mengawasi satu sama lain. Sang guru ingin mengetahui siapa murid yang paling sedikit berbuat kesalahan. Di akhir pengembaraan, sang guru memanggil sang murid dan memberinya kesempatan untuk membeberkan kesalahan temannya. Murid pertama, menceritakan seluruh kesalahan temannya. Jumlahnya banyak sekali. Lalu tiba giliran murid kedua. Dihadapan gurunya dia berkata; "Guru, teman saya ini melakukan kesalahan yang sama banyaknya dengan saya. Namun, mengingat begitu banyaknya kesalahan yang sudah saya lakukan; saya tidak punya lagi waktu untuk menceritakan kesalahan teman saya. Sekarang saya mohon diri untuk melakukan perbaikan." Lalu sang murid pamit. Kepada murid pertama, sang guru memberi hadiah berupa segenggam emas sesuai yang dijanjikannya. Kepada murid kedua, sang guru memberikan seluruh hidupnya untuk
menemaninya melakukan perbaikan. Perbaikan diri, hanya mendatangi orang-orang yang menyadari kelemahan dirinya sendiri, bukan mereka yang memusingkan diri dengan kesalahan dan kelemahan orang lain. Bagi Anda yang tertarik menemani saya membebaskan diri dari rasa pusing karena kelemahan orang lain, saya ajak memulainya dengan mempraktekkan 5 prinsip Natural Intelligence berikut ini:
 
1.      Perbaiki diri sendiri terlebih dahulu. Anda masih ingat petunjuk keselamatan di pesawat terbang? Jika tekanan udara turun, segera gunakan masker oksigen. Jika ingin membantu orang lain, Anda sendirilah yang harus terlebih dahulu menggunakan masker oksigen itu. Sama dengan kelemahan-kelemahan yang kita saksikan. Tidak ada manusia yang tidak memiliki kelemahan. Semua kita begitu. Maka sebelum mengurusi kelemahan orang lain, sebaiknya kita terlebih dahulu membenahi kelemahan diri kita sendiri. Jika Anda mendahulukan masker oksigen orang lain, maka Anda sendiri yang mati, dan orang lain belum tentu tertolong. Jika Anda lebih mengurusi kekurangan orang lain, maka boleh jadi; Anda akan selamanya buruk. Padahal belum tentu orang lain itu berhasil Anda ajak untuk menjadi lebih baik. Orang yang diberi masker oksigen tidak akan berdebat; "Lha, kok Anda nyuruh saya pake masker? Anda sendiri tidak pake masker?"   Dia akan langsung terima masker
yang Anda sodorkan.  Tapi, jika Anda mengajak orang lain untuk melakukan perbaikan sementara Anda sendiri masih kacau, maka dia akan berkata;"Ngacalah, kau!" Beda jika Anda sudah menunjukkan kesediaan untuk melakukan perbaikan. Anda bisa mengatakan; "my personal improvement is in progress. So, let's do it together…"
 
2.      Ambil peluang yang disembunyikannya. Seperti keping mata uang, semua hal memiliki dua sisi yang saling berseberangan. Atasan atau rekan kerja Anda di kantor, mungkin mengecewakan Anda. Terserah Anda, mau memandangnya dari sisi yang mana. Anda boleh melihatnya sebagai ancaman; "kalau begini terus, karir gua bisa terancam." Atau dari sisi sebaliknya; "nah, inilah peluang buat gue untuk menunjukkan siapa yang pantas mendapatkannya." Saya mengajak Anda untuk melihatnya dengan cara kedua. Kalau Anda punya atasan yang 'kurang oke' – misalnya – sebaiknya itu memacu Anda untuk menjadi pribadi yang oke, dong. Bukannya menggerutu dan mengomel terus. Toh akan ada saatnya ketika atasan Anda akan turun tahta. Bahkan, boleh jadi saat tidak terduga itu sudah dekat. Mana tahu? Daripada mengeluh terus, kan mending memastikan bahwa Anda sudah siap untuk saat penting itu. Jangan sampai kalau sudah jadi pejabat, ternyata Anda juga sama tidak
oke-nya. Kolega Anda yang tidak oke? Nape elo yang sewot? Malah bagus untuk menunjukkan bahwa Anda adalah orang yang lebih baik. Apapun yang Anda alami, selalu menyimpan peluang dan ancaman. Jika Anda ingin segalanya menjadi indah, ambil peluangnya.
 
3.      Antisipasi dampak negatifnya. Teman Anda, mungkin memang sedang merencanakan sesuatu untuk menjegal. Atasan Anda mungkin memang tidak adil. Baru mungkin, karena tidak ada bukti yang menyokong argumentasinya. Baru mungkin. Karena boleh jadi itu hanyalah perasaan Anda saja. Tetapi, bagaimana jika itu benar? Sekecil apapun kemungkinan itu, jika Anda sudah melihat gelagatnya maka patut untuk mengantisipasi dampak negatifnya. Dampak paling besarnya adalah efek kepada perasaan dan emosi Anda. Jika perilaku mereka berhasil membuat emosi Anda tidak stabil, mengomel, menggerutu, lalu bereaksi negatif; maka Anda kalah.  Makanya, penting untuk menjaga agar jangan sampai emosi atau mental Anda terimbas dampaknya. Setelah itu, barulah Anda pikirkan dampaknya pada karir Anda. Baik keberlangsungannya, maupun perkembangannya. Anda bahkan bisa memetakan seberapa besar dampaknya yang mungkin terjadi. Dan sebelum itu terjadi, Anda sudah bisa melakukan
antisipasi. Kebanyakan orang sibuk mengurusi perilaku negatif orang lain dengan melawan atau menentangnya. Padahal, itu hanya buang-buang waktu saja. Percuma. Mending Anda gunakan energi menggerutu itu untuk mengantisipasi dampak negatifnya bagi diri dan karir Anda. Sehingga jika hal itu terjadi, Anda tidak kaget lagi. Toh sudah bisa Anda perkirakan. Dan Anda, sudah punya exit stretegynya secara handal. Jika Anda mampu begitu, maka tak seorangpun bisa 'ngerjain' Anda.
 
4.      Tingkatkan kualitas hubungan dengan jaringan. Banyak orang yang mengabaikan pentingnya membangun jaringan dengan orang-orang dalam perusahaan. Ada yang karena sungkan. Malas. Atau merasa tidak ada perlunya. Sejak menjadi seorang salesman pada tingkatan paling rendah, saya sudah bisa punya akses kepada Presiden Direktur. Beliau bukan saudara saya. Bukan pula kenalan orang tua saya. Tapi saya menjadi satu-satunya karyawan dari level paling rendah yang bisa berkomunikasi dengan baliau. Mungkin itu agak ekstrim. Anda bisa membangun hubungan yang baik itu dengan rekan-rekan atau manager dari departemen lain. Pastikan dalam membangun hubungan itu Anda menunjukkan aspek-aspek positif dan unggul yang Anda miliki. Bukan untuk mengelabui, tapi untuk membiasakan diri tampil dengan performa yang tinggi. Jika Anda mempunyai hubungan yang bagus dalam jaringan di perusahaan Anda, maka sangat sulit untuk menjatuhkan Anda. Anggap saja atasan dan kolega Anda
rada kurang fair pada Anda. Tapi hubungan bagus Anda di berbagai departemen lain, bisa menjadi benteng pelindung Anda. Bagaimana jika atasan dan kolega Anda justru orang-orang yang baik? Itu jauh lebih bagus lagi, kan? So, apapun kondisinya; cobalah untuk meningkatkan kualitas hubungan dengan jaringan di departemen lain di perusahaan Anda.
 
5.      Terus berbaik sangkalah pada mereka. Penilaian Anda terhadap atasan atau teman bisa saja salah. Kalaupun mereka melakukannya, belum tentu disertai niat untuk menjatuhkan Anda. Jika atasan Anda bawel, misalnya. Atau menimpakan pekerjaan yang sulit hanya pada Anda. Boleh jadi itu bukan karena dia tidak sayang pada Anda. Mungkin memang begitu caranya untuk menggembleng Anda. Berburuk sangka para atasan yang seperti itu? Rugi, Anda. Teman yang Anda nilai tukang serobot itu. Belum tentu dia melakukannya untuk menyingkirkan Anda. Ini zaman persaingan ketat, bung. Segalanya mesti serba cepat. Serba lugas. Dan serba kompetitif. Menjadi orang yang gampang tersinggung di zaman ini rada tidak cocok. Orang ambisius sering terlihat arogan. Padahal bukan arogan. Orang-orang yang disiplin sering dikira galak. Orang-orang tegas sering dituduh tidak toleran. Berbaik sangkalah kepada mereka agar hati Anda lebih tenteram saat menghadapinya. Ada baiknya untuk
mewaspadai kemungkinan perlakuan buruk orang lain pada kita. Tetapi, waspada tidak sama artinya dengan curiga. Tetaplah waspada, dan tetaplah berprasangka baik. Karena dengan bagitu, Anda bisa tetap terjaga dari ancaman yang datang dari luar. Juga terjaga dari noda mental yang datang dari diri Anda sendiri. Dengan begitu, Anda tidak akan terpengaruh oleh sifat buruk yang menjadi kelemahan orang lain.
 
Kita mungkin sudah lama terbebas dari rasa iri atas kelebihan orang lain. Kita tidak merasa kesal lagi jika tetangga memberi hand phone baru, tv baru, atau mobil baru. Kita sudah cukup dewasa untuk menyikapi hal itu. Tetapi, kita sering tidak sadar telah terpengaruh oleh kelemahan dan kekurangan orang lain. Padahal, ketika menemukan kelemahan orang lain melalui perilaku buruknya kepada kita; sebenarnya Tuhan sedang memberi kita kesempatan untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik daripada mereka. So, mulai sekarang. Setiap kali melihat kelemahan orang lain, langsung setting mental Anda untuk mengambil hikmah darinya. Agar semakin hari, diri kita menjadi semakin baik. Sehingga suatu saat nanti, kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik.
 
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman – 28 Oktober 2011
Penulis buku "Natural Intelligence Leadership"(Tahap editing di penerbit)
 
Catatan Kaki:
Orang yang melakukan tindakan buruk dihadapan kita sebenarnya sedang mengatakan; "tolong, jangan lakukan tindakan seperti ini..."
 
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.

Follow DK on Twitter @dangkadarusman

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___
[gudang-ilmu] Artikel – Benarkah Orang-Orang Sulit Itu Sulit?

[gudang-ilmu] Artikel – Benarkah Orang-Orang Sulit Itu Sulit?

 

Artikel – Benarkah Orang-Orang Sulit Itu Sulit?
 
Hore, Hari Baru! Teman-teman.
 
Salah satu tantangan pelik dalam tugas kepemimpinan adalah orang-orang yang kita sebut sebagai orang sulit. Nyaris disemua organisasi ada saja orang yang disebut sebagai orang sulit ini. Alasan mereka disebut orang sulit adalah karena sikapnya menimbulkan kesulitan bagi orang lain, khususnya atasan dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerja dengannya. Pertanyaannya adalah; Apakah mereka yang menjadi 'orang sulit bagi kita'? Ataukah kita yang justru merupakan orang sulit bagi mereka? Merenungkan pertanyaan itu bisa membantu kita untuk melihat lebih jernih dan mengambil tindakan yang lebih konstruktif.
 
Film The Horse Whisperer berkisah tentang seekor kuda yang mengalami trauma setelah tertabrak trailer di New York City. Mengingat lukanya yang parah, dokter hewan menyarankan untuk lakukan eutanasia. Namun pemiliknya bersikukuh untuk mempertahankannya. Kuda itu sembuh secara fisik, tapi secara mental tetap sakit. Dia berubah menjadi sangat ganas melebihi keganasan kuda liar dialam bebas. Kuda itu membenci manusia, khususnya sang pemilik yang menungganginya saat kecelakaan terjadi. Di pegunungan Montana, ada seorang koboi yang cakap mengurus kuda hingga dijuluki sebagai Sang Pembisik Kuda. Melalui perjalanan panjang dan melelahkan, akhirnya kuda itu berhasil disembuhkan kembali. Manusia, bisa lebih liar dari hewan. Tetapi manusia memiliki perangkat akal dan nurani dengan derajat yang jauh melampaui mahluk manapun. Makanya, seliar-liarnya manusia; selalu punya peluang untuk menjadi pribadi yang berbudi. Apalagi sekedar orang yang kita sebut sebagai
'orang sulit', tentu bisa menjadi orang yang mudah bekerjasama. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memahami orang sulit, saya ajak memulainya dengan menerapkan 5 prinsip Natural Intelligence berikut ini:
 
1.      Jadilah orang yang 'mudah' bagi orang lain. Ini adalah prinsip paling mendasar yang sering dilupakan orang. Dalam pengamatan saya, begitu banyak orang yang menilai orang lain sebagai orang yang sulit padahal dia tidak menyadari bahwa dirinyalah sebenarnya orang yang sulit itu. Sebuah hubungan tidak bisa disokong oleh satu pihak; Anda saja, atau dia saja. Harus Anda dan dia. Jika Anda dan dia sama-sama sulit, maka hubungan itu tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Jika Anda mudah dan dia sulit, maka Anda masih punya peluang untuk tetap menjaga performa. Namun jika yang sulit itu justru Anda bukan dia, maka Anda nyaris tidak memiliki harapan untuk memperbaiki keadaan selama tidak menyadarinya. Jadi, langkah paling awal yang mesti kita ambil adalah memastikan bahwa kita sendiri bisa menjadi orang yang mudah bagi orang lain. Maka sekarang, mata kita tidak sepenuhnya tertuju kepada orang lain; melainkan berintrospeksi kedalam diri sendiri
juga. Anda yakin Anda bukan orang sulit? Tidak ada salahnya jika mengeceknya sekali lagi.
 
2.      Fahami kebutuhan emosionalnya. Perhatikanlah sekali lagi orang-orang yang kita beri label sebagai orang sulit itu. Ternyata mereka bisa bekerjasama dengan sangat baik bersama orang-orang tertentu. Apa yang menyebabkannya tidak bisa bekerjasama dengan kita? Begitulah pertanyaan yang selayaknya kita ajukan. Hambatan emosional sering menjadi faktor penyebab yang paling menonjol. Akarnya bisa dari hal yang sangat sederhana, sampai kepada hal yang rumit hingga tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Untuk memahaminya, Anda bisa mengamati dari jauh, atau berdiskusi dengan orang-orang yang bisa bekerjasama dengannya. Atau lebih banyak menyediakan diri untuk mengenal orang itu lebih mendalam. Seseorang yang sulit misalnya, ternyata hanya membutuhkan pengakuan atas senioritasnya dari atasannya yang lebih muda. Setelah pengakuan itu didapatkan, dia menjadi respek kepada sang atasan. Merasa lebih berpengalaman atau pernah memimpin lebih banyak orang
juga demikian. Boleh jadi, ada kebutuhan emosi lainnya yang perlu kita kenali dan fahami. Jika dengan orang lain dia bisa bekerjasama dengan baik, maka tentu kita pun bisa mengelola orang itu dengan lebih baik melalui pemahaman terhadap kebutuhan emosionalnya.
 
3.      Fahami masalah yang melatarbelakanginya.  Setiap orang memiliki alasan untuk suka atau tidak dalam berhubungan dengan orang lain. Maka apakah seseorang suka atau tidak suka bergaul dan bekerjasama dengan Anda, tentu ada latar belakangnya. Misalnya, seseorang mengatakan kepada saya sambil marah-marah; "saya ini juga pernah menjabat seperti kamu selama 10 tahun, bla bla bla," Lalu beliau membeberkan fakta tentang betapa mengecewakannya kepemimpinan saya. Saya menghormati penilaiannya, namun saya tegaskan bahwa caranya berbicara dengan saya sama sekali tidak bisa memperbaiki keadaan. "Anda ingin semuanya berjalan lebih baik?". Tidak ada jawaban yang lebih pintar atas pertanyaan itu selain mengiyakan. "Jika demikian," lanjut saya "marilah kita bicarakan baik-baik." Dalam perbincangan selanjutnya beliau bercerita tentang masalah yang sedang dihadapinya di rumah hingga menjadi mudah marah dan cepat emosi. Saya hanya menunjukkan
respek dan empati, tidak lebih dari itu. Di akhir pembicaraan saya dipeluknya sambil dihujani permintaan maaf atas sikapnya selama ini. Dan saya mengimbanginya dengan kesadaran bahwa memang sudah menjadi kewajiban saya untuk melayani orang-orang yang saya pimpin semaksimal mungkin. Sejak saat itu, hubungan kami menjadi sangat baik. Ini kejadian sungguhan. Pada awalnya saya pun ikut terbawa suasana sehingga menilai beliau sebagai orang yang sulit. Tetapi setelah memahami latar belakangnya, terbukalah jalan untuk memperbaiki kualitas hubungan.
 
4.      Seimbang antara tuntutan dan kemanfaatan. Sulitnya seseorang untuk diajak kerjasama bisa jadi karena mereka tidak melihat manfaat bagi dirinya sendiri. Misalnya, seorang bawahan yang menilai atasannya tidak bisa memperjuangkan kepentingannya. Mereka tentu akan cuek melebihi bebek. Terlebih lagi jika atasannya terlalu banyak menuntut. Bawahan Anda, akan semakin sulit dikelola jika Anda tidak dapat menyeimbangkan antara tuntutan dengan manfaat yang bisa Anda berikan kepada mereka. Bahkan sahabat baik Anda pun cepat atau lambat akan mempertanyakan; 'mengapa gue mesti mendukung elu yang cuma bisa membesarkan nama elu doank?' Faktanya, masih banyak atasan yang terlalu sibuk mempertahankan posisi atau imej pribadinya dihadapan atasan yang lebih tinggi. Hingga mereka lupa bahwa kinerjanya justru sangat ditentukan oleh bawahan. Sama seperti halnya Anda yang 'mengharapkan' sesuatu dari atasan Anda, maka bawahan Anda pun mengharapkannya dari
Anda. Seseorang yang percaya bahwa atasannya bisa melakukan sesuatu untuk membantu pengembangan karirnya, tentu akan lebih respek dan mudah diajak kerjasama. Maka menunjukkan kepada orang lain bahwa kehadiran kita bisa memberi manfaat bagi mereka merupakan faktor penting untuk melunakkan orang-orang sulit. Kelinci liar sekalipun, kalau ditawari wortel; tentu mendekat juga, bukan?
 
5.      Lakukan dengan ketulusan. Menjadi pemimpin itu memang perlu tulus. Pemimpin yang tulus, jarang sakit hati. Meski ditentang atau dipersulit oleh orang-orang yang sulit. Dia terus berusaha mengajaknya untuk berubah menjadi lebih baik demi kepentingan orang itu sendiri. Dia terus mengupayakannya, meski tetap ditentang atau diremehkan. Sampai kapan? Sampai lepas kewajibannya selama dia memimpin. Artinya, selama jabatan itu melekat dia berkewajiban untuk mengupayakan rekonsiliasi dengan orang-orang sulit agar kinerjanya tetap tinggi. Tapi perlu juga diingat, bahwa 'jabatan' kita mempunyai konsekuensi 2 arah, yaitu; kita sebagai atasan dan/atau kita sebagai bawahan. Faktanya, setinggi apapun jabatan Anda, tetap saja Anda adalah bawahan bagi orang yang jabatannya lebih tinggi. Maka konteks pembicaraan kita ini berlaku baik kita memposisikan diri sebagai atasan yang berhubungan dengan bawahan yang kita anggap sulit. Juga berlaku pada saat kita
memposisikan diri sebagai bawahan yang mengira bahwa atasan kita adalah orang yang sulit. Dan selama kita melakukannya dengan ketulusan, maka kita bisa menikmatinya terlepas dari posisi apa yang kita mainkan. Karena dengan ketulusan, Anda bisa mengelola orang-orang sulit dengan lebih baik. Termasuk jika yang sulit itu ternyata adalah diri Anda sendiri.
 
Tidak hanya atasan yang suka menilai bawahannya sebagai orang sulit. Banyak juga bawahan yang menilai atasannya yang justru sulit. Di banyak organisasi atau perusahaan hal seperti itu terjadi. Walhasil kedua pihak saling tuduh sebagai orang yang tidak bisa diajak kerjasama. Atasan memvonis anak buahnya sebagai pembangkang, sedangkan bawahan menganggap atasannya sebagai pemimpin yang sewenang-wenang. Mana yang benar? Yang jelas, seorang pribadi yang baik bersedia melakukan introspeksi kedalam dirinya sendiri sebelum mengarahkan telunjuk kepada orang lain. Lalu dia berusaha untuk  melayani demi kebaikan orang lain. Entah dia sebagai atasan, atau bawahan.  Entah orang lain membalasnya dengan kebaikan, atau tetap menyulitkannya dengan beragam polah dan keburukan. Dia terus konsisten dalam usahanya mewujudkan perbaikan. Sedangkan untuk dirinya sendiri, dia cukupkan Tuhannya sebagai penyantun. "Hasbunallah wani'mal wakil," katanya. Cukuplah Allah
bagiku, dan Dialah sebaik-baiknya pelindung. Dengan prinsip itu, dia tetap teguh untuk mengupayakan rekonsiliasi dan perbaikan. Dan dengan cara itu, dia memastikan bahwa dirinya sendiri bukanlah orang yang sulit itu.
 
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman – 27 Oktober 2011
Penulis buku "Natural Intelligence Leadership"(Tahap editing di penerbit)
 
Catatan Kaki:
Orang yang kita anggap sulit belum tentu benar-benar sulit. Boleh jadi, kita belum mengetahui cara untuk bekerjasama dengannya.
 
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.

Follow DK on Twitter @dangkadarusman

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___
[gudang-ilmu] Artikel’: Menyelipkan Huruf ’I’ Pada Kata ’Saya’?

[gudang-ilmu] Artikel’: Menyelipkan Huruf ’I’ Pada Kata ’Saya’?

 

Artikel': Menyelipkan Huruf 'I' Pada Kata 'Saya'?
 
Hore, Hari Baru! Teman-teman.
 
Dalam sebuah perbincangan, seseorang berkomentar;"Mas Dadang Anda termasuk tipe pribadi egois," katanya. "Mengapa Anda mengira demikian?" kata saya. "Karena Anda sering sekali menyebut kata 'saya'..." begitulah penjelasannya. Ini bukan dialog imajiner. Beneran terjadi 3 atau 4 bulan lalu disebuah kedai kopi yang menyediakan donat hangat. Saya tidak perlu tersinggung, karena memang saya sering menggunakan kata 'saya'. Semisal; 'menurut hemat saya.." Atau "Saya tidak mengetahui hal itu." Anda juga bisa menghitung, berapa kali kata 'saya' ditulis dalam artikel ini. Namun, Anda tentu memahami bahwa kata 'saya' yang digunakan secara tepat sama sekali tidak menggambarkan egoisme. Bahkan kali ini, saya sengaja mengajak Anda untuk berfokus kepada kata 'saya' milik setiap pribadi. Sebab, 'saya' adalah sebuah kata yang memiliki makna yang sangat dalam bagi setiap orang yang merasa memiliki nyawa.  
 
Laptop ini sudah menemani saya lebih dari 3 tahun. Kinerjanya memuaskan. Namun, akhir-akhir ini salah satu tombol keyboardnya sering copot. Tahukah Anda tombol keyboard huruf apa yang copot itu? Tepat sekali. Tombol huruf 'I'. Saya sudah berulangkali memperbaikinya, namun tombol 'I' itu copot lagi. Dan copot lagi. Setengah frustrasi, pagi ini saya bertanya; "Ya Tuhan, ada apa dengan tombol 'I' ini?" Ajaib sekali. Saya langsung mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu. Betapa saya telah banyak melupakan 'I', serta betapa Tuhan telah menitipkan sang 'I' itu kepada saya selama ini. Ingatkah Anda bahwa 'I' itu berarti 'saya'? Oh, jangan-jangan selama ini saya terlalu sibuk memikirkan orang lain hingga melupakan diri sendiri. Padahal, orang yang ingin dekat dengan Tuhan pun dianjurkan untuk lebih mengenal dirinya sendiri. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memahami fungsi 'I' dalam diri sendiri, saya ajak
memulainya dengan memahami 5 prinsip Natural Intelligence berikut ini:

1.      Percayalah bahwa 'I' itu adalah Amanah tertinggi kita. Saya masih terus teringatnasihat guru kehidupan saya. "Engkau tidak akan ditanya tentang orang lain, Nak. Melainkan tentang dirimu sendiri." Sungguh dalam, makna kalimat itu bagi saya. Kita, sering terlampau sibuk melihat, menilai dan mengomentari orang lain. Si itu begitu, si ini begini, sedangkan si ono begono. Mudah sekali mata kita melihat kelemahan orang lain. Gampang sekali telinga kita mendengar keburukan orang lain. Tapi tentang diri sendiri? Perilaku buruk yang setelah puluhan tahun kita pelihara pun tidak kita sadari juga. "Lihat kedalam dirimu sendiri, Nak." Begitu kata beliau. "Dan engkau akan tahu, bahwa engkau tidak lagi punya waktu untuk mengungkit keburukan orang lain." Memang, sebagai seorang teman kita bisa menjadi pengingat bagi orang lain. Tapi apalah gunanya ajakan kita kepada kebaikan orang lain jika kita sendiri lupa untuk mengajak diri sendiri
menjadi pribadi yang baik? Pundak kita tidak dibebani tugas untuk menjadikan orang lain baik sebelum diri kita sendiri. Karena 'I' adalah amanah tertinggi yang kita emban.

2.      Setiap orang punya tanggungjawabnya sendiri. Perhatikanlah, betapa sering usilnya kita kepada urusan orang lain. Padahal urusan kita sendiri saja belum tentu beres. Dunia kita tidak akan menjadi tempat yang 'beres' kalau penghuninya hanya saling menunjuk hidung. Justru, kita bisa memiliki dunia yang lebih baik ketika setiap pribadi mau mengambil tanggungjawabnya sendiri. Dengan memastikan 100% tanggungjawab saya terpenuhi, maka itu sudah menjadi kontribusi bagi tercapai keadaan dunia yang kita idamkan. Anda? Cukup dengan menunaikan tanggungjawab Anda 100% juga. Mereka? Sama. Keruwetan yang terjadi kan lebih banyak disebabkan karena kita tidak benar-benar menunaikan tanggungjawab kita. Alih-alih malah kita memelototi orang lain hingga lupa bahwa tanggungjawab kita sendiri lebih membutuhkan perhatian dan penanganan. Maka jangan takut disebut sebagai pribadi yang egois, jika kata 'saya' itu Anda gunakan untuk mawas diri. Jangan khawatir
divonis egosentris jika kata 'I' itu Anda pakai untuk mengambil tanggungjawab pribadi. Sebab 'I' berarti the only person who has all the responsibilities of every human being. Dan setiap orang, memiliki tanggungjawabnya sendiri.

3.      Tidak ada yang bisa selamanya ada untuk kita. Jika seseorang bertanya pada Anda; Siapa yang bertanggungjawab pada hidup Anda? Maka Anda benar ketika menjawabnya dengan kata 'saya'. Siapa yang harus menjaga harga diri Anda? Maka Anda pun waras jika juga menjawab pertanyaan itu dengan huruf 'I'. Kepada siapa Tuhan menitipkan semua potensi diri Anda? Apakah Anda punya jawab lain selain 'saya' atau 'I'? Tentu saja tidak. Sebab Ayah Anda. Ibu Anda. Pacar Anda. Suami Anda. Istri Anda. Body guard Anda. Tidak selamanya ada bersama Anda. Sedangkan satu-satunya 'manusia' yang selalu ada untuk Anda adalah diri Anda sendiri. Apakah itu berari kita tidak membutuhkan orang lain? Oh, tidak. Sama halnya ketika orang lain membutuhkan kita, maka kita juga membutuhkan mereka. Maka, dalam konteks ini; berfokus kepada diri sendiri adalah sebuah keharusan kodrati.

4.      I sudah bukan lagi 'i'. Bunyinya sama. Tapi peran, fungsi, dan posisinya sudah berbeda. Ketika sebuah 'i' bertumbuh kembang hingga menjadi 'I', maka pada saat itu seseorang dituntut untuk bisa bersikap dewasa. Makna dewasa tidak hanya berarti lepas dari ketergantungan kita kepada orang tua. Yang itu iya, karena nyatanya masih banyak juga orang-orang 'dewasa' yang masih mengganduli orang tuanya. Namun itu juga berarti dewasa di tempat kerja atau lingkungan lainnya dimana kita berada. Jika kita masih bekerja baik hanya jika takut dikenai sanksi oleh kantor, misalnya. Maka itu ciri jika kita belum dewasa. Begitu juga jika kita masih harus menunggu perintah dari atasan alias enggan mengambil inisiatif untuk berprestasi. Kedewasaan dalam hidup, kira-kira juga sejalan maknanya. Mengeluhkan hidup yang sulit, contohnya. Normal jika saat susah kita merasa sesak didada. Mengeluhkannya – apalagi kepada orang lain –  sama sekali
tidak menghasilkan solusi yang bisa menjaga harga diri kita. Percayalah, tak seorangpun terbebas dari tekanan hidup. Apakah mereka kaya, atau miskin. Ataukah mereka pejabat atau orang biasa. Saat 'i' sudah menjadi 'I', maka kita mesti belajar untuk lebih tabah menerimanya. Cukup kita sendiri  bersama Sang Maha Pemberi jalan keluar saja yang tahu soal itu. Dan bersama Dia kita berikhtiar mencari penyelesaiannya. Bukankah itu yang kita sebut sebagai kedewasaan? Karena ketika 'i' sudah tumbuh besar menjadi 'I', kita dituntut untuk menjadi lelaki 'atau perempuan dewasa.

5.      Pertanggungjawaban 'I' kepada Sang Maha 'I'. Dalam hidup dan mati kita ada 2 'I'. I yang pertama adalah 'saya'. I yang kedua adalah 'Ilahi'.  Pertanggungjawaban tertinggi adalah pertanggung jawaban 'saya' kepada Sang Ilahi. Dengan segenap anugerah, kesempatan, keterbatasan, cobaan, kemudahan dan segala sesuatu yang Tuhan berikan kepada kita; apa yang sudah kita lakukan dalam menjalani hidup? Orang yang dianugerahi ketampanan tidak selalu lebih mudah mempertanggungjawabkan perilakunya dibandingkan mereka yang wajahnya bisa-biasa saja seperti saya, misalnya. Yang cantik juga begitu. Orang kaya? Lebih mudah melewati sidang Tuhan dari si miskin? Hmm tidak juga. Kecantikan dan ketampanan. Kekayaan dan kemiskinan. Kemudahan dan kesulitan. Semuanya adalah elemen-elemen yang menuntut pertanggungjawaban. Jika kaya, misalnya. Hartamu dari mana dan digunakan untuk apa? Jika miskin? Bagaimana kamu bisa tetap menjaga harga dirimu
ditengah kemiskinan itu? Jika cantik atau tampan? Bagaimana kamu bisa menjaga kesucian dirimu dengan balutan ketampanan dan kecantikan yang menghanyutkan. Semuanya, pasti membutuhkan pertanggunggjawaban sang 'I' kepada Sang Maha 'I'.

Tombol keyboard 'I' pada laptop saya sudah diperbaiki. Belum copot lagi setelah perbaikan terakhir ini.  Namun cepat atau lambat, tombol 'I' itu pasti akan rusak lagi. Bahkan bersama laptopnya sekalian. Sama dengan tubuh kasar saya yang akan musnah digerogoti cacing tanah lalu melebur menjadi debu yang menyatu dengan bumi. Meski laptop saya rusak, nanti. Tapi semua naskah, kalimat, dan kata yang pernah saya ketik akan tetap ada. Meski tubuh kasar saya sirna, namun semua tindakan dan perbuatan yang sudah saya lakukan juga akan tetap ada. Diantara tulisan yang hasilkan dengan laptop itu, ada yang tersangkut di situs-situs, facebook, twitter, milist dan email, dan ada juga yang tersimpan dalam hati seseorang. Begitu pula dengan catatan perjalanan hidup saya. Semuanya akan tetap tersimpan pada tempat-tempat yang sepatutnya. Karena semua perilaku kita, akan tercatat pada buku yang tidak pernah lapuk bernama lauhul mahfudz. Yaitu buku besar yang
berisi catatan tentang perjalanan hidup setiap 'I' yang dimiliki oleh setiap pribadi. Sudahkah huruf 'I' Anda menuliskan naskah yang baik hari ini? Yuk, marrri.

Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman – 21 Oktober 2011
Trainer"Natural Intelligence Leadership Training" 
Penulis buku "Natural Intelligence Leadership"(Tahap editing di penerbit)
 
Catatan Kaki:
Akan tiba saat dimana setiap insan hanya berdiri sendirian dalam sidang yang hanya dipertanggungjawabkan oleh dirinya sendiri.

Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.

Follow DK on Twitter @dangkadarusman

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___
[gudang-ilmu] Artikel’: Jabatan Kita, Tidaklah Abadi

[gudang-ilmu] Artikel’: Jabatan Kita, Tidaklah Abadi

 

Artikel': Jabatan Kita, Tidaklah Abadi
 
Hore, Hari Baru! Teman-teman.
 
Setiap karyawan sewajarnya memiliki ambisi untuk meraih posisi-posisi yang bisa meningkatkan tarap hidupnya.  Namun hati-hati, jangan sampai menodai perjuangan itu dengan tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Nanti bisa menyesal. Kapan penyesalan itu datang? Nanti ketika sudah tidak menjabat lagi. Saat dunia terasa sunyi, rasa sesal itu bisa datang menghantui. Dan saat itu, semua sudah serba terlambat. Jadilah orang yang memiliki jabatan tinggi namun tetap rendah hati. Hal itu dimulai dari cara mendapatkannya dengan langkah-langkah terpuji. Saat nanti kita tidak menjabat lagi, kita akan merasa lega didalam hati. Lagi pula, tidak ada jabatan yang abadi. Yang ada adalah giliran untuk saling berganti. Maka penting untuk memastikan bahwa cara kita mendapatkannya baik. Dan cara mengembannya juga baik. Begitu pula cara mengakhirinya.
 
Tanggal 18 Oktober 2011 SBY mengumumkan perombakan kabinet. Hal ini  menegaskan bahwa setinggi apapun jabatan kita, bisa hilang begitu saja. Apakah ada orang yang ingin kehilangan jabatan tinggi secara tiba-tiba? Saya kira tidak. Apalagi jika jabatan itu sangat bergengsi. Memberikan penghasilan tinggi. Dan fasilitas yang serba mewah. Makanya kita sering terlalu terikat dengan jabatan. Mengejar-ngejarnya. Lalu mendekapnya seolah tidak ingin terpisahkan lagi. Padahal itu berbahaya sekali. Jika tiba saatnya harus mengembalikan mandat, kita bisa terkena sindrom kehilangan kekuasaan alias post power syndrom. Terkena serangan jantung. Atau sekedar merasa bingung dan linglung. Kita harus memiliki keinginan untuk meraih pencapaian yang tinggi. Namun, kita juga perlu memerdekakan diri dari belenggu ketergantungan pada jabatan tinggi. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar membangun pencapaian tinggi namun tetap menjadi pribadi yang merdeka, saya ajak
memulainya dengan memahami 5 prinsip Natural Intelligence berikut ini:
 
1.      Bersiap-siaplah untuk kehilangan jabatan. Menteri, Direktur, CEO, bahkan Presiden pun cepat atau lambat akan berhenti juga. Tidak masalah apakah diberhentikan karena masa jabatannya habis, dinilai tidak bagus, atau pensiun. Meskipun masih ingin sekali untuk menjabat, tetap saja tidak bisa mengalahkan kodrat. Jabatan Anda apa? Pasti akan berakhir. Setiap jabatan empuk, memiliki sifat adiktif yang membuat kita lengket kepadanya. Terbuai dalam kenikmatannya sering membuat kita terlena, dan kurang siap menerima kenyataan ketika tiba saatnya untuk lengser. Kita justru perlu terus sadar jika jabatan itu hanya sementara. Dengan kesadaran itu, bukan hanya bisa menerima kenyataan saat kehilangannya. Lebih dari itu, kita bisa tetap rendah hati meski punya jabatan tinggi. Mereka yang tinggi hati dan 'sok bossy' menunjukkan rendahnya nilai kesadaran akan betapa tidak langgengnya jabatannya.  Jika saat itu tiba, mereka terkejut, dan sulit untuk
menerima kenyataan. Sedangkan orang-orang yang sadar dengan ketidakabadian itu bisa bersiap lebih baik menyongsong saat akhir. Maka secara fisik dan mental pun dia sudah memiliki kesiagaan yang tinggi. Jika saat itu tiba? Mereka menyambutnya dengan senyum kepuasan dan kesiapan.
 
2.      Bersiap-siaplah untuk menerima tugas besar. Seperti dua sisi keeping mata uang; ada yang kehilangan jabatan, dan ada pula yang mendapatkannya. Kesempatan itu sering datang tidak terduga. Tiba-tiba saja boss kita mengundurkan diri. Tiba-tiba saja manager kita dihire oleh competitor. Tiba-tiba saja, ada posisi kosong yang menggiurkan. Bayangkan jika saat itu tiba; Anda tidak memiliki kesiapan untuk menunjukkan bahwa Anda layak mendapatkannya. Kesempatan itu akan kembali melayang ke tangan orang lain yang lebih siap dari Anda, bukan? Banyak orang yang merasa rugi kalau berperilaku, bertindak dan berprestasi tinggi jika posisinya belum tinggi. "Nanti saja kalau saya sudah mendapatkan jabatan tinggi," begitu kilahnya. Padahal, orang tidak dipromosi sekedar dengan prestasi 'nanti', melainkan kinerja dan kualitas pribadinya selama ini. Jika Anda memiliki ambisi tinggi, maka Anda harus menunjukkan kesiapan untuk mendapatkan posisi tinggi itu
sejak saat ini. Sungguh, Anda tidak pernah tahu kapan kesempatan itu akan datang. Namun selama Anda telah siap untuk mendapatkannya, Anda akan benar-benar berhasil meraihnya.
 
3.      Ingatlah bahwa jabatan itu adalah amanah. Masalah terbesar kita adalah sering mengira bahwa jabatan itu adalah keadaan dimana kita bisa mereguk semua kenikmatan. Makanya tidak heran jika setelah menjabat kita tergoda untuk sekedar menikmati fasilitasnya, memamerkan kementerengannya, dan ngotot untuk mempertahankannya. Lha, hasil kerja kita apa? Tenang saja, pejabat lain juga tidak hebat-hebat amat tapi aman-aman saja tuch. Keliru, jika kita merujuk kepada orang lain yang kinerjanya biasa-biasa saja. Ini tentang diri kita. Dan ini tentang jabatan kita. Maka ini, adalah tentang bagaimana kita menjalankan amanah sebaik-baiknya. Orang-orang yang tidak menjalankan amanah dengan baik justru beresiko besar kehilangan jabatannya. Sebaliknya mereka yang mampu menjaga dan menunaikan amanah, lebih berpeluang untuk mendapatkan amanah yang lebih besar. Ingatlah bahwa jabatan Anda adalah amanah yang harus ditunaikan. Sebagai imbalannya, Anda mungkin akan
terus diberi kepercayaan. Atau, saat pensiun nanti; Anda mempunyai kisah yang pantas untuk diceritakan kepada anak cucu.
 
4.      Sadarlah jika pemegang amanah pasti diawasi. Soal pekerjaan, mungkin urusannya hanya antara Anda dengan perusahaan. Namun soal amanah, bukan hanya dengan manusia kita berurusan. Ada Tuhan. Kita yang mengaku percaya kepada adanya Tuhan tidak patut mengabaikan amanah. Terutama karena jabatan tinggi itu memiliki efek samping bernama 'lupa diri'. Kita bisa lupa bahwa derajat kita sama dengan mereka yang lebih rendah posisinya, misalnya. Kita juga bisa lupa bahwa benda-benda dan uang itu bukan milik kita, sehingga disadari atau tidak; kita mengklaimnya sebagai property pribadi. Kita juga sering lupa bahwa keberadaan amanah itu satu paket dengan kejujuran, sehingga 'asal semua bisa dibungkam segalanya aman'. Saya kan bekerja di swasta, mana ada peluang itu? Hmmh, setahu saya, sifat amanah itu diperlukan di semua lokasi lho. Ah, kejujuran itu siapa yang tahu? Beranikah Anda menganggap Tuhan tidak tahu? Rasanya terlalu beresiko ya? Orang
yang sadar amanah tidak akan berani menyalahgunakan jabatannya untuk hal-hal yang tidak disukai Tuhannya. Dan dia, pasti akan menjaganya sebaik-baiknya. Apakah dia bekerja di instansi pemerintah. Atau di perusahaan swasta. Karena amanah, adalah bahasa universal untuk apa yang kita sebut sebagai integritas diri.
 
5.      Siapkanlah pertanggungjawaban didewan tertinggi. Setiap jabataan menuntut adanya pertanggungjawaban. Performance appraisal yang kita jalani setahun sekali itu adalah salah satu contoh forum yang memfasilitasinya. Presiden berpidato didepan anggota dewan. Dan CEO berpidato dihadapan para pemegang saham. Dengan atasan, Anda bisa berdebat untuk mendapatkan penilaian yang baik. Dengan anggota dewan Presiden bisa melakukan lobby politik agar sidang menerima pidatonya. Kepada para pemilik saham, CEO bisa bernegosiasi. Semuanya bisa diatur. Makanya, dihadapan sesama manusia, kebenaran dan kejujuran bisa bersifat nisbi. Pertanyaannya adalah; bisakah Anda berargumen dihadapan dewan tertinggi yang dipimpin langsung oleh Tuhan? Setiap pribadi adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Maka penting bagi kita untuk mempersiapkan laporan pertanggungjawaban atas semua amanah yang kita emban. Baik sebapai
pemimpin pribadi. Maupun sebagai pengemban tugas sebuah jabatan. Sebab sekecil apapun jabatan itu, akan dimintai pertanggungjawaban.
 
Mengejar jabatan itu baik adanya. Keinginan untuk meraihnya memberi kita energy untuk berprestasi tinggi. Namun, hendaknya kita tetap berpegang teguh kepada prinsip-prinsip kehormatan. Karena tanpa kehormatan, kita bisa menghalalkan segala cara. Selain penting untuk menjaga kesucian proses meraihnya, juga sangat penting untuk tetap mengembannya dengan nilai-nilai kemuliaan. Sebab setelah semua jabatan itu kita tanggalkan, tidak ada lagi yang kita miliki selain catatan tentang bagaimana dahulu kita menunaikannya. Jika kita baik, maka baiklah akhir kehidupan kita. Jika buruk? Maka bersiaplah untuk menghadapi konsekuensinya. Tetapi, bukankah kehidupan didunia ini hanya sementara saja? Sedangkan kehidupan akhirat adalah abadi. Terlalu beresiko jika demi kebanggaan dan kenikmatan fana ini kita mengorbankan peluang mendapatkan  pahala dan kesempatan untuk hidup bahagia selama-lamanya. Ingatlah selalu bahwa jabatan kita, tidaklah abadi. Namun semua tindakan
dan perilaku kita selama menjabat itu akan tetap tercatat dalam kitab langit. Yuk, kita kejar jabatan tinggi dengan cara yang baik. Dan kita tunaikan amanah itu dengan sebaik-baiknya.
 
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman – 19 Oktober 2011
Trainer"Natural Intelligence Leadership Training" 
Penulis buku "Natural Intelligence Leadership"(Tahap editing di penerbit)
 
Catatan Kaki:
Siapapun yang menginginkan kehormatan dan kenikmatan abadi, perlu menggunakan semua fasilitas di dunia untuk mendapatkan keridoan Ilahi.
 
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.

Follow DK on Twitter @dangkadarusman

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___
[gudang-ilmu] Artikel’: Benarkah Karir Orang Jujur Sering Terhambat?

[gudang-ilmu] Artikel’: Benarkah Karir Orang Jujur Sering Terhambat?

 

Artikel': Benarkah Karir Orang Jujur Sering Terhambat?
 
Hore, Hari Baru! Teman-teman.
 
Judul ini sengaja dibuat tendensius. Soalnya, kita sering mendengar orang-orang mengatakan jika mereka yang tidak jujur malah mendapatkan kesempatan dan karir yang lebih baik. Sebaliknya, orang-orang jujur dan baik malah tersingkir. Faktanya tidak semua orang yang karirnya bagus adalah orang-orang yang tidak jujur. Mungkin memang ada orang tidak jujur yang karirnya cemerlang. Tetapi, keliru jika mengira bahwa ketidakcemerlangan karir kita terjadi karena kita memilih menjadi orang yang jujur. Bukan. Bukan karena kita jujur karir kita tidak berkembang. Justru dengan kejujuran itu kita bisa mendapatkan karir yang bukan sekedar membumbung tinggi, tetapi juga bernilai martabat tinggi. Jujur itu baik. Dan kita bisa membangun karir yang baik dengan landasan kejujuran.
 
Bayangkan Anda sedang berada dalam sebuah balapan lari marathon. Anda berpacu dengan para pesaing tangguh. Jika sambil berlari Anda memanggul sekarung pasir di pundak; bukankah peluang Anda untuk menang menjadi semakin kecil? Pikiran negatif, dan perasaan kesal Anda kepada orang lain itu tidak ubahnya seperti sekarung beban berat. Persaingannya sendiri sudah sangat sengit. Memelihara perasaan kesal karena memikirkan ketidakjujuran orang lain dalam bersaing sama artinya dengan melemahkan daya saing kita. Sebaliknya, kita akan semakin efektif dalam bersaing jika hati dan perasaan kita tidak dibebani oleh hal-hal seperti itu. Sayangnya, banyak orang yang tersiksa oleh ketidakjujuran orang lain. Lalu menjadikannya sebagai kambing hitam atas kegagalan yang dideritanya. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar menyikapi ketidakjujuran lingkungan, saya ajak memulainya dengan memahami 5 prinsip Natural Intelligence berikut ini:
 
1.      Tetaplah menjadi orang baik. Seperti ikan di laut. Meski lingkungan sekelilingnya terasa asin, tetapi daging ikan tidak ikut-ikutan menjadi asin. Meski di sekitar kita ada orang-orang yang tidak jujur, tapi itu tidak berarti kita harus ikut-ikutan menjadi orang yang juga tidak jujur. Mungkin tubuh kita tidak ikut menjadi 'asin'. Tetapi otak kita sibuk memikirkannya. Hati kita juga sibuk menghujat; 'mengapa orang macam itu yang mendapatkan kesempatan?'. Hal itu menandakan jika kita terpengaruh oleh ketidakjujuran orang lain. Mendingan Anda fokus saja untuk tetap menjaga nilai-nilai kejujuran Anda. Tidak perlu ikut campur. Kecuali jika Anda mampu 'mengambil tindakan' untuk menghentikan ketidakjujuran orang itu. Jika tidak memiliki kemampuan itu, sebaiknya Anda tidak membuang waktu dan energy dengan pikiran dan perasaan negatif yang ditimbulkan oleh ketidakjujuran orang lain. Cukuplah dengan tidak mengikuti perilaku buruk mereka.
Sehingga kita bisa tetap menjadi orang baik.
 
2.      Adopsi keunggulan orang lain. Kita yang sering tergoda untuk menuduh orang lain 'tidak jujur' ini belum tentu benar-benar jujur, lho. Ayolah, akui saja jika kita ini bukan mahluk suci. So, mari berhenti mempermasalahkan ketidakjujuran seseorang. Lebih baik kita temukan keunggulan orang itu agar bisa kita adopsi. Apa sih keburukan orang itu? Baiklah, saya tahu dan saya tidak akan mencontoh itu. Apa sih keunggulan orang itu? Baiklah, saya tahu itu dan saya bersedia untuk melatih diri agar bisa memiliki keunggulan seperti itu. Sikap seperti ini, tentu lebih produktif dan positif. Renungkanlah kembali; apakah benar ketidakujuran yang menjadi faktor penting kesuksesan karir mereka? Ataukah keunggulan mereka yang tidak kita miliki? Kemampuan kita untuk mengadopsi keunggulan pesaing adalah salah satu teknik pertahanan diri yang tinggi. Maka jika kita ingin menjadi pesaing tangguh, kita perlu secara objektif memahami keunggulan orang lain. Lalu
mengadopsinya. Maka kita akan memiliki keunggulan yang sama.
 
3.      Imbangi dengan keunggulan aspek lain. Ada kalanya keunggulan orang lain itu bukan sesuatu yang bisa diduplikasi. Misalnya, sesuatu yang berhubungan dengan kepribadian dan fungsi utama kerja otak kita. Soal skill, kita bisa pelajari. Tetapi soal kepribaidian dan cara kerja otak, tidak semudah itu. Jika kita orang yang dominan dengan otak kiri misalnya, bukan soal gampang untuk bergeser ke otak kanan. Memaksakan diri hanya akan membuat kita semakin ketinggalan. Akui saja jika itu memang bukan area keahlian kita. Sekalipun begitu, kita bisa tetap berbesar hati. Karena dibalik kelemahan kita, tersebunyi kelebihan yang tidak mereka miliki. Tugas kita adalah menemukan keunggulan pribadi itu. Lalu menjadikannya sebagai aset yang dapat mengimbangi keunggulan orang lain.
 
4.      Hindari generalisasi keadaan. Jika Anda mendapati seseorang yang tidak jujur namun karirnya semakin menanjak naik, Anda tidak perlu mengeneralisir keadaan. Seolah-olah untuk bisa suskses di perusahaan Anda, seseorang harus tidak jujur. Apalagi sampai memvonis bahwa mereka yang jujur tersingkir dan orang tidak jujur semakin mujur. Kita sendiri yang rugi jika demikian. Kenapa? Karena sepanjang waktu kita akan dihantui oleh perasaan kesal yang entah kepada siapa harus disalurkan. Kita juga bisa menyesal menjadi orang jujur. Dan kita membuang banyak waktu untuk menelan energy negatif itu memasuki setiap sel didalam tubuh kita. Kalau pun ada yang begitu, anggap saja itu sebagai sebuah kekeliruan. Cukup sampai disitu. Lalu kita terus berfokus untuk melakukannya dengan cara lebih baik dan lebih terhormat daripada orang itu.
 
5.      Jika memang lingkungannya buruk, cari tempat lain. Ada orang yang berpendapat bahwa lingkungan kerjanya sudah dikuasai oleh sekelompok orang tidak jujur yang menguasai system. Mustahil, katanya, orang jujur seperti saya bisa mendapatkan karir bagus jika tidak ikut-ikutan seperti mereka. Jika Anda berada pada situasi seperti itu, apa yang akan Anda lakukan? Apakah Anda akan ikut menjadi pribadi yang tidak jujur? Atau bertahan dengan prinsip hidup positif Anda?  Saya pribadi meragukan jika ada lingkungan kerja seperti itu. Jika kita bekerja di perusahaan-perusahaan yang memproduksi atau menjual produk atau jasa yang legal, saya yakin lingkungan kerja kita tidak seburuk itu. Tapi, marilah kita anggap saja memang ada tempat yang sudah sedemikian buruknya sehingga orang-orang baik pasti tersisih. Jika benar demikian, mengapa kita tidak cari tempat lain saja? Toh kita tahu itu bukan tempat yang tepat untuk kita. Tapi sebelum Anda benar-benar
hengkang, ada baiknya merenungkan kembali; apa iya lingkungan kerja Anda sudah sedemikian buruknya?  Atau….
 
Sangat mudah untuk melihat keburukan orang lain. Lebih mudah lagi untuk menjadikannya sebagai kambing hitam atas kegagalan-kegagalan yang kita alami.  Mungkin memang benar ada orang-orang tidak jujur yang mendapatkan kesempatan karir yang lebih baik. Tetapi, kenyataannya tidak selalu demikian kok. Makanya, mencari-cari alasan dari luar sama sekali tidak bisa mendorong diri kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Daripada berfokus kepada keburukan orang lain, jauh lebih produktif jika kita menyibukkan diri untuk membangun sifat-sifat positif diri sendiri. Jika kita berhasil menjadi pribadi unggul dengan dilandasi oleh sifat-sifat positif, tentu selalu ada tempat baik yang bersedia menerima kehadiran kita. Dan orang-orang baik, selalu memiliki kesempatan untuk mendapatkan karir yang lebih baik.
 
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman – 17 Oktober 2011
Trainer"Natural Intelligence Leadership Training" 
Penulis buku "Natural Intelligence Leadership"(Tahap editing di penerbit)
 
Catatan Kaki:
Ciri jika kita ini orang baik adalah terus menjaga nilai-nilai kebaikan yang kita miliki tanpa mempermasalahkan keburukan orang lain.
 
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.

Follow DK on Twitter @dangkadarusman

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___
[gudang-ilmu] Artikel’: Setinggi Apakah Nilai Diri Anda?

[gudang-ilmu] Artikel’: Setinggi Apakah Nilai Diri Anda?

 

Artikel': Setinggi Apakah Nilai Diri Anda?
 
Hore, Hari Baru! Teman-teman.
 
Nilai diri seseorang bisa diukur dari seberapa banyak orang lain mau membayar jasa atau pekerjaan yang dilakukannya. Tidak seorang pun mau bekerja tanpa bayaran, bukan? Saya yakini itu. Bahkan termasuk mereka yang 'tidak meminta bayaran'. Jika Anda bayar mereka, ya tentu diterima juga. Secara langsung atau tidak langsung, secara terbuka atau terselubung; kita mengharapkan bayaran dari pekerjaan yang kita lakukan. Wajar? Sangat wajar sekali. Yang tidak wajar adalah; ketika pekerjaan kita dibuat seperti bahan komoditi. Anda faham maksud saya? Jika Anda membeli cabe rawit seharga 2,000 rupiah, maka jumlah yang Anda terima tentu akan lebih sedikit daripada tetangga Anda yang membayar tukang sayur sebesar Rp.20,000. Orang-orang yang membuat kinerjanya seperti komoditi hanya akan berprestasi sesuai uang yang diterimanya. Kongkritnya, mereka mengatakan;"Dengan gaji segini, kenapa gua musti kerja bagus?" Mereka merasa rugi untuk berprestasi lebih tinggi.
 
Kita percaya bahwa setiap orang berhak mendapatkan hasil dari setiap usaha yang dilakukannya. Mereka yang kerjanya banyak, hasilnya mestinya ya juga banyak. Masalahnya, kadang hasil yang kita dapatkan tidak selalu sejalan dengan kerja keras yang sudah kita lakukan. Setidak-tidaknya, itulah yang sering dikeluhkan oleh begitu banyak karyawan. Ada orang yang kerjanya santai namun gajinya sama dengan kita. Ada orang yang kinerjanya biasa saja, tapi kok dia yang mendapatkan 'penghargaan' lebih banyak dari kita. Makanya, banyak orang yang kemudian memilih untuk berkarya alakadarnya saja. Dalam pengamatan saya, anggapan itu tidak selalu benar. Yang sering benar adalah; kita tidak tahu 'apa yang ditanam' oleh orang lain yang kita kira 'bekerja lebih sedikit' itu. Sehingga ketika melihat mereka mendapatkan hasil yang lebih banyak, kita mengira yang tidak-tidak. Saya percaya bahwa nilai diri kita tidak ditentukan oleh orang lain, melainkan diri kita
sendiri. Hanya kitalah yang bisa melakukannya. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar meningkatkan nilai diri kita, saya ajak memulainya dengan memahami 5 prinsip Natural Intelligence berikut ini:
 
1.      Berilah diri Anda sendiri nilai yang tinggi. Salah satu ciri orang yang bernilai tinggi adalah kualitas kerjanya yang juga tinggi. Sebaliknya, kualitas kerja yang rendah menunjukkan jika kualitas diri seseorang yang melakukannya juga rendah.  Kita sering menganggap orang lain menilai atau memberi imbalan kepada kita terlalu rendah. Padahal, tinggi rendahnya imbalan yang kita terima berbanding lurus dengan nilai diri kita sendiri. Dengan mengurangi kualitas kerja, sama artinya kita mengurangi nilai diri kita sendiri. Makanya, wajar jika imbalan yang kita terima juga rendah. Mari mulai bersikap sebaliknya; tinggikan nilai diri Anda sendiri dengan cara memastikan bahwa semua hasil kerja kita berkualitas tinggi. Dengan cara itu, orang lain pun akan cepat atau lambat menyadari betapa tingginya nilai diri kita. Memberi nilai diri yang tinggi bukan dengan cara mengklaim 'gue pantas dibayar lebih tinggi', melainkan dengan menunjukkan bahwa kita
memang bisa melakukan segala sesuatu yang berkualitas tinggi. Tegasnya, lakukan pekerjaan Anda sampai dibatas maksimal kapasitas diri Anda. Maka Anda akan berhasil memberi nilai tertinggi kepada diri sendiri.
 
2.      Sikapilah perlakuan yang kita dapatkan secara positif. Masalah terbesar orang-orang yang merasa kurang dihargai adalah; menyikapi secara negatif setiap perlakuan yang diterimanya. Jika orang lain merendahkannya, dia membenci orang itu lalu menjauhinya bahkan memusuhinya. Dampaknya? Orang lain semakin bersemangat untuk merendahkannya. Jika perusahaan dianggap tidak fair, maka dia menyikapinya dengan cara menurunkan kinerjanya. Walhasil, semakin terbuktilah jika dia memang berkualitas alakadarnya. Jika kita keberatan dinilai rendah oleh orang lain, maka cara terbaik untuk mengatasinya adalah; membuktikan bahwa mereka keliru. Dan kita, hanya bisa melakukan itu jika menyikapi perlakuan dari orang lain, lingkungan atau perusahaan secara positif. Semakin buruk perlakukan orang lain, semakin positif kita, dan semakin terdorong untuk menunjukkan bahwa mereka keliru. Artinya? Kita semakin tumbuh menjadi pribadi yang memiliki nilai yang tinggi.
 
3.      Pancarkanlah energy positif ke sekitar kita. Nilai seseorang juga sangat ditentukan oleh energy yang dipancarkannya kepada lingkungan. Wajah yang muram, pakaian yang acak-acakan adalah contoh perilaku yang memancarkan energy negatif yang lazim kita temukan di tempat kerja. Sebaliknya, wajah ramah, bersahabat, mudah bekerjasama, pengertian, serta berpakaian rapi adalah contoh perilaku yang memancarkan energy positif. Pertanyaannya; apakah Anda lebih banyak memancarkan energy negatif atau positif? Maka mulai sekarang, tinggalkan perilaku kerja yang memancarkan energy negatif, dan gantilah dengan tindakan dan gerak-gerik yang bisa memancarkan energy positif sehingga lingkungan Anda pun akan merespon dengan lebih positif. Dengan demikian, maka nilai Anda dimata mereka pun akan menanjak naik.
 
4.      Terapkanlah standard pribadi yang tinggi.   Kebanyakan orang sekedar mengikuti standar yang diterapkan oleh lingkungannya. Hanya sedikit yang menerapkan standard pribadi yang melampaui tuntutan lingkungannya. Apakah ini masalah? Menurut saya iya. Kalau kita hanya berusaha untuk mencapai standar umum yang ditentukan oleh lingkungan, maka 'maksimal' kita hanya bisa mencapai standar itu. Besar kemungkinannya kita tidak berhasil mencapai standard itu sehingga nilai kita menjadi lebih rendah dari kebanyakan orang. Kalaupun kita berhasil mencapai standard itu, tidak ada jaminan jika nilai kita akan semakin tinggi. Mengapa? Karena orang lainpun sudah setinggi itu nilainya. Tetapi jika kita menerapkan standar yang lebih tinggi untuk diri kita sendiri, maka kita mempunyai peluang untuk memiliki nilai yang melampaui nilai kebanyakan orang. Kalau nilai kita sudah terbukti lebih tinggi dari orang lain? Masak sih masih dinilai rendah oleh
lingkungan? Maka jika Anda ingin dinilai tinggi, terapkanlah standard pribadi yang tinggi.
 
5.      Milikilah nilai pribadi yang sesungguhnya. Jika ada barang KW1, KW2, KW3 dan seterusnya, maka nilai manusia juga kira-kira sama. Ketika orang lain menilai kita baik padahal sebenarnya kita tidak sebaik yang mereka kira, maka nilai kita itu cuma KW bla bla bla belaka.  Percayalah. Tak seorang pun mengetahui siapa sesungguhnya orang yang dipuja dan dipujinya. Jika Anda mengira saya orang baik, maka sesungguhnya Anda tidak mengenal siapa sebenarnya saya. Anda tidak benar-benar tahu orang lain. Begitu pula mereka yang juga tidak tahu siapa sebenarnya Anda. Faktanya, manusia hanya mengetahui sedikit sekali. Maka nilai kita dimata orang lain itu sfatnya nisbi. Lain halnya dengan penlaian Tuhan. Karena Dia tahu segala sesuatu tentang kita, maka Dia tentu tahu siapa sesungguhnya kita. Dan Dia tahu nilai diri kita yang sebenarnya. Selain sering bias, penilaian sesama manusia juga sifatnya hanya sementara. Padahal kita percaya pada alam abadi tempat
kita pulang nanti. Maka jika kita ingin menjadi orang-orang yang benar-benar bernilai tinggi, jadikanlah penilaian Tuhan sebagai acuan. Jika kita baik dihadapan seseorang, belum tentu baik juga dimata orang lain. Apalagi diharibaan Tuhan. Tapi jika kita baik dimata Tuhan. Sudah pasti baik juga dihadapan manusia. Itulah cermin nilai pribadi kita yang sesungguhnya.
 
Guru kehidupan saya mengatakan bahwa nilai kita tidak ditentukan oleh pakaian yang kita kenakan. Tidak pula dengan jabatan yang kita sandang. Faktor penentu nilai kita itu adalah ketakwaan kita. Artinya, kepatuhan kita pada nilai-nilai ketuhanan. Siapa saja yang mengikuti nilai ketuhanan, tidak akan berani melakukan kecurangan, apalagi berbuat nista. Bahkan, dalam kitab suci Tuhan sudah mengatakan jika manusia itu adalah sebaik-baik penciptaan. Sedangkan perbuatan nista, menjadikan derajat kita lebih rendah daripada binatang. Bukankah kita mahluk yang lebih mulia dari binatang? Oleh sebab itu, mari kita jaga nilai diri kita untuk tetap tinggi. Supaya jangan sampai lebih rendah dari orang lain. Apalagi jika sampai lebih rendah daripada binatang.    
 
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman –  13 Oktober 2011
Trainer"Natural Intelligence Leadership Training" 
Penulis buku "Natural Intelligence Leadership"(Tahap editing di penerbit)
 
Catatan Kaki:
Jika kita ingin mendapatkan penilaian yang tinggi, maka kita harus terus berfokus kepada perilaku yang juga bernilai tinggi.
 
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.

Follow DK on Twitter @dangkadarusman

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___
[gudang-ilmu] Artikel’: Antara Kuperman, Supelman, Dan Superman

[gudang-ilmu] Artikel’: Antara Kuperman, Supelman, Dan Superman

 

Artikel': Antara Kuperman, Supelman, Dan Superman
 
Hore, Hari Baru! Teman-teman.
 
Ada tiga jenis manusia yang kita kenal. Pertama adalah orang yang lebih suka menyendiri sehingga ruang pergaulannya sempit. Kita sebut saja dia sebagai Kuperman. Kedua, orang yang pitar dan luwes dalam bergaul sehingga lingkup pergaulannya luas. Kita menyebutnya sebagai orang supel alias Supelman. Ketiga, orang yang pencapaian dalam hidupnya sangat mengagumkan sehingga manfaatnya dirasakan oleh banyak orang. Sebut saja sebagai Superman. Ada keterkaitan antara ketiga jenis manusia itu. Para Supelman biasanya berhasil berteman dengan Superman, sehingga pada akhirnya dia juga menjadi seorang Superman. Sedangkan para Kuperman biasanya sibuk terus dengan dirinya sendiri sehingga dari hari kehari hanya berkutat dengan kubik kecil kehidupannya. Dia tidak menjadi siapa-siapa. Dan dia nyaris tidak dikenal oleh siapa-siapa sehingga sangat mudah untuk dilupakan. Saya yakin, tak seorang pun menginginkan akhir kehidupan seperti itu. Makanya, setiap orang perlu
belajar untuk menjadi Supelman.
 
Remote AC yang satu ternyata tidak bisa digunakan untuk AC merek lain. Bahkan sama merk tapi beda tipe pun belum tentu bisa menggunakan remote yang sama. Saya baru menyadarinya ketika romote AC di rumah kami mengalami kerusakan. Setelah gagal mencari penggantinya akhirnya saya bertemu seorang ahli reparasi alat elektronik. Dia menawarkan remote dengan merk 'aneh'. Lha, remote AC terkenal saja tidak bisa dipake untuk AC lain kok dia malah menawarkan remote ecek-ecek. One remote, one AC. Tapi dia berhasil meyakinkan saya soal 'tidak ada salahnya mencoba'. Daripada kepanasan terus? Sampai di rumah, saya hanya perlu melakukkan 'setting' sederhana. Dan...beerrrrrr AC itu hidup. Ajaib. Saya membaca manual dalam kardusnya. Mengejutkan. Ternyata, remote AC itu kompatible dengan 1000 jenis AC! Hah? Disaat remote lain hanya cocok untuk satu tipe, remote itu bisa 'nyambung' dengan SERIBU jenis. Sama seperti kita. Ada yang supel dan ada yang kuper.
Dan orang-orang supel terbukti bisa lebih sukses hidupnya. Melihat fakta itu, saya semakin ingin untuk menjadi pribadi supel. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar menjadi pribadi supel, saya ajak memulainya dengan memahami 5 prinsip Natural Intelligence berikut ini:
 
1.      Pergaulan memberi harapan perbaikan signifikan. Normalnya, kita tidak pernah merasa puas dengan apa yang saat ini kita dapatkan.Pendapatan yang meningkat, misalnya, hanya akan berdampak beberapa saat. Seiring berjalannya waktu, kita membutuhkan adanya 'perbaikan'. Absurd sekali jika kita mengharapkan perbaikan signifikan namun lingkup pergaulan kita hanya disitu-situ saja. Karena lingkungan yang sama hanya akan memberi Anda 'delta' normatif. Jika Anda mengharapkan perubahan yang signifikan, maka Anda harus bersedia meraihnya dalam radius jangkauan yang lebih besar. Banyak fakta yang menunjukkan orang-orang yang pandai bergaul lebih berhasil dalam karirnya daripada mereka yang hanya sibuk dengan kalangan terbatas. Ada begitu banyak peluang diluar sana. Namun kita tidak bisa melihatnya jika hanya 'beredar' dalam lingkaran kecil yang mengungkung keseharian hidup kita. Reach! Pergilah keluar dari zona mungil kenyamanan Anda, lalu
raihlah persabahabatan yang bisa lebih mendekatkan diri Anda kepada kesuksesan yang lebih tinggi.  
 
2.      Setiap orang mengharapkan manfaat untuk dirinya. What in it for me? Itulah pertanyaan yang selalu diajukan oleh setiap pribadi. Termasuk Anda, saya dan mereka. Dalam setiap hubungan yang kita bangun dengan orang lain selalu ada pertanyaan itu, baik secara langsung ataupun tidak. Meski bernada egois, tetapi sesungguhnya hal itu memiliki sisi positif. Saat orang mempertanyakan apa manfaat yang bisa kita berikan kepada mereka, maka jiwa kita pun terpacu untuk melakukan sesuatu yang bisa memberi manfaat. Dalam banyak situasi, bahkan kehidupan kita bisa jauh lebih efektif ketika dituntut oleh orang lain untuk melakukan sesuatu daripada mengharapkan motivasi yang datang dari diri sendiri. Kita bisa menjadi pribadi yang jauh lebih baik jika berteman dengan orang yang menuntut hal-hal terbaik dari diri kita, misalnya. Sebaliknya, kita juga berhak untuk 'menuntut' manfaat dari pergaulan yang kita bangun. Hanya saja, hendaknya dipastikan agar kita
tidak berfokus hanya kepada manfaat berupa materi belaka. Karena manfaat sebuah pergaulan jauh melampui sekat-sekat kebendaan. Maka lakukanlah sesuatu untuk orang lain. Dan harapkanlah sesuatu dari orang lain. Karena setiap orang mengharapkan manfaat dari setiap hubungan yang dibangunnya. 
 
3.      Brand terbaik adalah 'diri Anda sendiri'. Saya mengira hanya remote AC dengan brand tertentu yang bisa menyelesaikan masalah saya. Ternyata tidak. Kesulitan saya mendapatkan pengganti dari brand terkenal itu ternyata membawa hikmah berupa pemahaman bahwa saya lebih membutuhkan 'kebergunaan', bukan sekedar 'brand'. Manusia juga begitu. Ada banyak orang top yang kita kenal. Dan kita sering mengira bahwa kalau bisa bergaul dengan mereka, maka efektivitas hidup kita akan menjadi lebih baik. Mungkin memang begitu. Seperti halnya kalau saya mendapatkan remote yang sesuai brand itu. Tetapi, faktanya; orang-orang yang sudah 'punya brand' itu tidak selalu mudah untuk dijangkau. Seperti remote branded yang saya cari, mereka tidak selalu available. Saya justru menemukan kebergunaan yang jauh melampaui harapan-harapan saya sebelumnya dari brand yang 'tidak dikenal'. Bisa jadi, sebenarnya kita juga bisa menemukan keberdayaan itu dari
orang-orang 'biasa'. Maka mulai sekarang, mari bebaskan diri kita dari kesilauan kepada nama besar yang tidak selalu bisa kita sentuh. Saatnya mendekat kepada orang-orang biasa yang selalu ada untuk kita. Sebaliknya. Kita juga bisa menjadi 'seseorang' yang berarti bagi orang lain. Meski hanya dengan tindakan kecil, tetapi itu bisa menjadi 'sesuatu banget' bagi mereka. Mengapa? Karena brand terbaik itu bukanlah nama besar orang-orang terkenal. Tetapi brand yang tersusun dari huruf-huruf yang membentuk nama Anda.
 
4.      Pergaulan heterogen lebih memperkaya khasanah kita. Coba cek, orang-orang dalam jaringan Anda. Latar belakangnya, profesinya, hobinya, dan faktor penanda lainnya. Apakah mereka lebih  banyak kesamaan? Kita cenderung bergaul dengan orang-orang yang memiliki kemiripan, atau bahkan menuntut adanya kesamaan. Padahal, kesempurnaan hidup kita tidak dibangun oleh homogenitas. Efektivitas hidup kita justru dibangun dari heterogenitas. Cobalah untuk menerima perbedaan dan menggunakannya untuk saling mengisi dan berbagi. Jika Anda orang HRD, misalnya, memang baik bergabung dengan komunitas HRD. Karena dalam komunits itu kita bisa saling belajar meningkatkan pemahaman tentang bidang yang kita geluti. Tetapi, jika Anda juga bergabung dengan komunitas sales, misalnya. Maka selain memahami prinsip-prinsip HRD, Anda juga memahami cara menerapkannya untuk orang-orang sales. Sebaliknya, jika Anda orang sales, bergabung dengan komunitas HRD membantu Anda
untuk lebih memahami bagaimana orang HRD menangani karyawan. Pemahaman masing-masing ini bukan sekedar bisa membuat kita lebih sadar. Tetapi juga lebih pengertian. Dan lebih dewasa dalam menyikapi segala sesuatu. Bagaimana dengan bidang dan komunitas lainnya? Layak untuk kita coba masuki dan jajaki.
 
5.      Pergaulan mempengaruhi baik dan buruknya kita. Bergaul dengan tukang minyak wangi, membuat kita kebagian wanginya. Bergaul dengan pedagang ikan, tentu membuat kita juga kebagian amisnya. Dalam setiap interaksi yang kita bangun, pasti ada pertukaran energy. Oleh sebab itu, penting untuk memperhatikan energy semacam apa yang dipancarkan oleh orang-orang dalam jaringan Anda. Orang-orang yang sikap atau perilakunya negatif, memancarkan energy negatif. Dan disadari atau tidak, energy itu terus menerus terkirim kearah kita. Demikian pula halnya dengan orang-orang yang berpikir, bersikap, dan berperilaku positif. Energinya senantiasa mendatangi diri kita. Makanya, baik dan buruknya diri kita juga sangat ditentukan oleh baik buruknya orang-orang yang berinteraksi dengan kita. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya untuk memilih siapa saja orang yang kita jadikan teman. Siapa yang harus kita jadikan teman jika demikian? Penyebar energy positifkah atau
sebaliknya? Bergantung apa yang kita inginkan dalam hidup kita. Jika kita ingin menjadi pribadi yang semakin hari semakin baik, maka pilihannya hanya satu, yaitu; bertemanlah dengan orang-orang yang bisa mempengaruhi, mendorong dan membantu kita untuk menjadi orang yang lebih baik. Karena pergaulan kita, mempengaruhi baik dan buruknya diri kita.
 
Pergaulanlah yang menentukan efektivitas hidup seseorang. Dengan kata lain, peluang orang-orang supel (supelman) untuk menjadi pribadi dengan pencapaian istimewa (superman) jauh lebih besar daripada para penyendiri (kuperman). Meski dengan mengisolasi diri kita bisa membuat sebuah penemuan, namuan tanpa pergaulan; penemuan itu hanya akan menjadi koleksi laboratorium belaka. Tidak akan bisa memberi manfaat bagi dunia. Terlebih lagi di zaman ini. Kita bahkan tidak bisa untuk tidak berkomunikasi. Kesempatan terserak dimana-mana. Peluang bertebaran disetiap sudut hingga menembus ruang-ruang pribadi kita. Sayang jika kita melewatkannya begitu saja. Atau hanya sekedar selingan belaka. Ini adalah era dimana setiap pribadi berksempatan untuk mengambil dan memberi manfaat melalui hubungan yang bisa dibangunnya bersama orang lain. Bahkan dengan mereka yang hanya bisa dijangkau dalam dunia maya. Saya siap untuk belajar menjadi Supelman. Bagaimana dengan Anda?
 
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman –  7 Oktober 2011
Trainer"Natural Intelligence Leadership Training" 
Penulis buku "Natural Intelligence Leadership"(jadwal terbit Oktober 2011)
 
Catatan Kaki:
Orang biasa yang supel lebih berpeluang untuk meraih perncapaian tinggi daripada orang hebat yang mengucilkan diri.
 
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.

Follow DK on Twitter @dangkadarusman

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

Blogger news