Pages

feature content slider

Powered by Blogger.

Pages - Menu

Popular Posts

Blogger templates

[gudang-ilmu] Artikel: Saatnya Berkiblat Kepada Kompetensi

 

Artikel:  Saatnya Berkiblat Kepada Kompetensi 
 
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
 
Saya bertanya-tanya; 'apakah kita bisa menggunakan momentum peringatan Hari Kemerdekaan RI tahun ini untuk mulai sungguh-sungguh berkiblat kepada kompetensi'. Artikel saya sebelumnya yang berjudul "Apakah Gelar Seseorang Menentukan Kualitas Dirinya?" mendapatkan tanggapan yang beragam. Baik melalui milis maupun email japri. Pada awalnya, saya mampu merespon tanggapan-tanggapan tersebut satu persatu. Namun, karena banyak diantaranya yang senada, maka saya memutuskan menulis artikel ini untuk merangkumnya, sekaligus merespon kepada semuanya.
 
Salah satu fakta tak terbantahkan adalah bahwa gelar itu penting sekali ketika mengajukan proposal proyek, melamar pekerjaan, atau meyakinkan calon klien untuk jasa konsultasi yang kita tawarkan. Sungguh, ini lho fungsinya gelar kita. Justru pada saat seperti itu kita tidak perlu ragu untuk menggunakannya. Perlihatkan semua yang kita miliki. Karena inilah saatnya jerih payah kita untuk meraih gelar itu membuahkan hasil. Go, and get it!
 
Dalam konteks yang lain, saya masih ingat sebuah forum dimana Tony Robbins menceritakan pengalamannya dihujat oleh orang-orang pintar pemegang gelar PhD dibidang psikologi. Intinya mereka mempertanyakan; 'siapa elo berani-beraninya ngomong soal jiwa manusia?' Respon santai dan urakan Robbins kira-kira begini; "Sebenarnya saya ini seorang PhD psikologi seperti Anda. Bedanya Anda mendapatkannya di bangku kuliah, sedangkan saya memperolehnya dari universitas kehidupan nyata."
 
Dengan pernyataannya, Robbins ingin menyadarkan kita; 'kenapa sih masih harus tanya gelarmu sekeren apa, bukannya kemampuanmu setinggi apa?' Ini benar-benar menohok para pemuja gelar itu. Terlepas dari siapa dan bagaimana sepak terjang Tony, bagi saya ini merupakan salah satu contoh klasik pergulatan soal gelar yang tidak hanya terjadi di Indonesia. Di dunia barat pun demikian. 
 
Setelah membaca beragam tanggapan yang muncul, saya mencoba membuat sebuah peta yang membagi perilaku kita dalam penggunaan gelar ini menjadi 4 kelompok:
 
Pertama, Banyak gelar-tinggi kompetensi. Budaya terbuka dan sifat ekstrovert mendasari munculnya karakter kelompok seperti ini. Jika Anda terbiasa dengan pergaulan atau forum-forum internasional, tentu tidak merasa asing dengan fenomena seperti ini. Sungguh sangat mengasyikan berada ditengah-tengah forum seperti itu. Kita seolah tengah bertamasya di dunia intelektual yang penuh makna. Kita bisa secara leluasa menunjukkan siapa diri kita atau memperlihatkan gelar-gelar kita tanpa ada kekhawatiran dinilai secara negatif. Semakin lama kita bergaul dalam lingkungan seperti ini, semakin termotivasi kita untuk terus meningkatkan diri serta menambah gelar-gelar yang kita miliki.
 
Bahkan, di kalangan ilmuwan yang tulus seperti mereka ini, kita melihat penghargaan yang mencengangkan. Misalnya, mereka tidak segan-segan menyebut koleganya sebagai Professor, padahal orang itu belum dianugerahi gelar professor. Atau, mungkin Anda pernah mendengar ilmuwan-ilmuwan kelas dunia berkata;"Dengan keluasan pengetahuan yang Anda miliki, seharusnya Anda sudah bergelar PhD."
 
Orang-orang yang benar-benar pintar justru sangat mengerti jika tengah berhadapan dengan orang berilmu tinggi lainnya. Dan mereka berani melampaui sekat-sekat sempit bernama sertifikat. Oleh sebab itu, kita sering melihat orang-orang yang bergelar mentereng, DAN berkompetensi tinggi. Saya selalu terpesona oleh keluhuran ilmu sosok orang-orang seperti ini. Saya melihat mereka sebagai orang-orang "Excellent and confident".
 
Kedua, Sedikit gembar gembor gelar-tinggi kompetensi. Sifat menahan diri dan introvert mendasari sikap seperti ini. Banyak orang yang sebenarnya memiliki gelar yang tinggi. Mereka juga mempunyai kompetensi tinggi. Tapi, mereka tidak mengumbar gelarnya. Di kalangan masyarakat timur, kita sering menemukan orang-orang yang seperti ini. Bergaul dengan mereka menjadikan kita sadar bahwa yang paling penting itu adalah kemampuan dan karya yang bisa kita hasilkan, bukan sebutan yang kita sematkan. Bukan pula baju-baju kebesaran yang kita kenakan. Saya pribadi, tidak pernah kehilangan rasa hormat kepada orang-orang seperti ini. Saya melihat mereka sebagai orang-orang "Great and humble".
 
Ketiga, Sedikit gelar-rendah kompetensi. Secara jujur kita bisa melihat orang-orang yang kompetensinya biasa-biasanya saja. Mereka juga tidak terlampau mengagung-agungkan gelar yang dimilikinya. Mereka tidak mengklaim gelar-gelar yang tinggi, apa lagi yang aneh-aneh. Betapa mereka bersedia menerima kenyataan bahwa beginilah diri mereka adanya. Saya tidak pernah kehilangan rasa kagum kepada mereka yang berbesar hati dengan segala kejujuran dan kebersahajaannya. Saya melihat mereka sebagai orang-orang "Realistic".
 
Keempat, Banyak gelar-rendah kompetensi. Sudah bukan rahasia lagi jika banyak gelar yang bisa dibeli atau ditempel-tempelkan sendiri tanpa memperhitungkan kompetensi. Inilah jadinya jika kita terlampau mengagung-agungkan gelar seseorang. Hal ini berlaku mulai dari gelar ecek-ecek yang dikarang-karang sendiri, sampai kepada gelar formal yang tidak memiliki isi. Saya melihat kelompok ke-empat ini sebagai "Misleading".
 
Kita semua turut bertanggungjawb untuk mengurangi ekses dari kelompok yang nomor 4 (misleading) ini. Kita bisa memulainya dengan menempatkan 'kesakralan' gelar itu dalam batas-batas kewajaran. Konkritnya bisa bermacam-macam, misalnya:
 
Gelar akademis yang benar-benar diperoleh melalui proses pendidikan dengan sistem pengawasan para guru bermutu. Kurikulum bukanlah jaminan. Jika para gurunya kurang telaten, mahasiswa yang menjiplak hasil penelitian orang lain bisa kelolosan. Guru, tidak bisa berlepas tangan dengan fenomena seperti ini. Mengatakan 'kami juga merasa kecolongan' sama sekali bukan cerminan pertanggungjawaban.
 
Gelar keahlian yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang kompeten. Apakah siapapun boleh mengeluarkan sertifikasi apapun? Lembaga seperti apa yang berhak mengeluarkan gelar penanda standard keahlian? Kadang-kadang kita sudah merasa berhak menuliskan kata 'certified' begitu kita mendapatkan selembar kertas bertuliskan 'Sertifikat'. Setiap kali mengikuti sebuah training, kita mendapatkan sertifikat. Tetapi, perlu kita lihat, apakah kertas itu berisi sertifikat 'mengikuti sebuah training' atau 'sertifikasi pencapaian standard kualifikasi' tertentu. Beda? Sangat beda sekali.
 
Gelar lain-lain. Tidak ada yang melarang seseorang untuk mengenakan gelar-gelar dirinya. Jaman dahulu, kita menggunakan gelar kebangsawanan. Tidak menjadi soal, jika memang kita ini bangsawan. Jaman sekarang, kita menggunakan gelar juga. Sekedar self-introspection; penggunaan gelar lain-lain yang paling parah, mungkin terjadi di dunia pelatihan. Menurut hemat saya, tidak masalah jika gelar-gelar yang digunakan itu masih relevan dan tidak over klaim. Diluar konteks itu, sudah saatnya bagi kita untuk mulai menahan diri. Sekaligus menjadi contoh dalam proses edukasi kepada masyarakat, bahwa gelar itu memang penting. Namun, jauh lebih penting dari semua itu adalah; kompetensi.
 
Apa untungnya jika kita berkiblat kepada kompetensi? Banyak. Antara lain, setiap kali selesai melakukan suatu hal penting, kita berkesempatan untuk menanyakan kepada diri sendiri;"apa yang bagus dan yang kurang tepat dari aktivitas tadi itu?" Dengan begitu, kita selalu melihat ruang untuk melakukan perbaikan. Selain itu, dengan kompetensi yang tinggi kita memiliki daya saing yang tinggi. Bicara soal realitas? Tengok saja bagaimana kiprah generasi muda Indonesia di kancah olimpiade fisika, matematika, biologi dan science tingkat dunia. Begitu pula dengan tenaga terdidik pekerja professional asal Indonesia di dunia kerja internasional. Kita masih bisa lebih baik lagi.
 
Sebaliknya, jika kita masih berkiblat kepada 'gelar' maka kita akan terbelenggu oleh begitu banyak keterbatasan. Kita akan merasa tidak berdaya karena kekurangan gelar. Lalu kita menyerah, dan membiarkan orang lain yang mengambil kesempatan. Atau sebaliknya, kita melawan dengan menempuh cara apa saja untuk sekedar meraih gelar. Jika kita masih bersikap begitu, tandanya kita masih terjajah oleh belenggu pemikiran dan paradigma yang sempit. Sudah saatnya untuk memerdekakan diri dari jenis penjajahan mental seperti itu. Lagi pula, bukankah esensi dari kemerdekaan itu adalah membebaskan diri dari belenggu persepsi-persepsi mental yang tidak perlu? Mumpung kita memiliki momentum hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 – 17 Agustus 2010. Mari sama-sama belajar memerdekakan diri untuk mulai berkiblat kepada kompetensi. Selamat Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-65.
 
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman
Writer, Trainer, and Speaker
www.bukudadang.com dan www.dadangkadarusman.com
 
Catatan Kaki:
Tetaplah berpikir positif kepada orang-orang yang berkiblat kepada kompetensi. Jika hari ini Anda menilainya 'biasa-biasa saja', mungkin tahun depan mereka bisa berubah menjadi 'sangat mengagumkan'.
 
Melalui project Mari Berbagi Semangat! (MBS!) sekarang buku saya yang berjudul "Belajar Sukses Kepada Alam" versi Bahasa Indonesia dapat diperoleh secara GRATIS. Jika Anda ingin mendapatkan ebook tersebut secara gratis silakan kunjungi petunjuknya di www.bukudadang.com  

--------------------------------
Buku-buku terbaru Dadang Kadarusman sudah tersedia di toko buku atau bisa dipesan di http://www.bukudadang.com/

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
MARKETPLACE

Hobbies & Activities Zone: Find others who share your passions! Explore new interests.


Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.


Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.

.

__,_._,___
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori dengan judul [gudang-ilmu] Artikel: Saatnya Berkiblat Kepada Kompetensi. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://tempat-belajar-bisnis-online.blogspot.com/2010/08/gudang-ilmu-artikel-saatnya-berkiblat.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Andriansyah - Saturday, August 14, 2010

Belum ada komentar untuk "[gudang-ilmu] Artikel: Saatnya Berkiblat Kepada Kompetensi"

Post a Comment

Blogger news